Penggunaan bahan kimia dalam pangan kalau tidak diawasi dan dikelola dengan baik tentu berbahaya bagi kesehatan manusia. Untuk itu, berhati-hatilah dalam mengkonsumsi berbagai produk makanan Sebab, semua bahan kimia akan dapat berubah sifat dari aman dan menguntungkan menjadi racun yang berbahaya, apabila jenis dan jumlah pemakaiannya tidak tepat.
“Untuk itu, bagi produsen makanan skala industri kecil maupun industri besar diperlukan sikap kehati-hatian dalam penggunaan bahan kimia, agar tidak membahayakan konsumen,†ujar Prof. Dr. Ir. Sri Anggrahini, MS, Selasa (1/4) di ruang Balai Senat UGM.
Kepala Laboratorium Biokimia, Lab. Terpadu UGM menyampaikan hal itu, saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Perempuan kelahiran Klaten, 18 Maret 1951 ini mengucap pidato “Keamanan Pangan Kaitannya Dengan Penggunaan Bahan Tambahan Dan Kontaminanâ€.
Dikatakannya, industri pangan rumah tangga biasanya akan berusaha menampilkan makanannya semenarik mungkin, baik dari segi penampakan, aroma dan tekstur, namun mengabaikan faktor keamanan pangan. Bahkan jajanan yang dijual pedagang kaki lima dan jajanan di sekolah-sekolah dinilai rawan terhadap penggunaan bahan kimia yang membahayakan bagi kesehatan.
Dirinyapun mengingatkan, bahwa produk-produk jajanan kaki lima sering mengandung bahan kimia berbahaya. Diantaranya boraks sebagai penggempal yang mengandung logam berat boron, formalin sebagai pengawet mayat, Rhodamin B pewarna merah tekstil dan Methanyl Yellow sebagai pewarna kuning tekstil.
“Uji sampling jajanan sekolah dari Banda Aceh sampai Jayapura oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan menunjukkan, ditemukan kandungan formalin dan boraks pada bakso dan mie, serta Rhodamin B pada sirup dan es mambo. Sementara pada jajanan anak sekolah di 18 propinsi didapat sekitar 39,5% tidak memenuhi standar keamanan pangan. Bahkan kandungan formalin ditemukan pula pada produk makanan impor dari Cina,†ucap Kepala Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini.
Prof Sri Anggraheni menerangkan, teknologi pengolahan pangan di Indonesia dewasa ini berkembang cukup pesat, seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan tambahan pangan. Kesalahan teknologi dan penggunaan bahan tambahan yang diterapkan, baik sengaja maupun tidak sengaja dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan keamanan konsumen.
Untuk itu, katanya, penggunaan bahan tambahan pangan perlu memperhatikan nilai-nilai Acceptable Daily Intake (ADI). Yaitu suatu batasan seberapa banyak konsumsi bahan tambahan pangan yang dapat diterima dan dicerna manusia tiap hari sepanjang hidup, tanpa menimbulkan gangguan kesehatan.
“Selain itu, grade dari bahan kimia yang digunakan sebagai bahan tambahan pangan juga harus diperhatikan, apakah food-grade yaitu bahan kimia yang diijinkan untuk ditambahkan dalam pangan atau non food-grade yaitu bahan kimia yang tidak digunakan untuk pangan, tetapi digunakan untuk industri-industri non pangan, sperti industri tekstil, cat, plastik,†kata dosen Pascasarjana UGM ini.
Hingga kini, dalam produk makanan kering, biskuit, dendeng, abon, ikan asin, mi instant sering ditambahkan bahan pengawet yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Mengapa demikian? Karena bahan makanan kering umumnya mengandung kadar air rendah dibawah 10%, sehingga bukan media yang baik untuk tumbuhnya mikrobia.
“Namun, karena ketidak tahuan produsen, maka masih ditambahkan bahan pengawet pada produk-produk makanan tersebut,†jelasnya.
Diakhir pidatonya, istri Ir. Purwadi, MS berharap pemerintah perlu memberikan pembinaan pada produsen makanan terutama industri rumah tangga untuk menerapkan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) untuk industri besar. “HACCP merupakan sistim manajemen pengawasan mutu terpadu, khususnya untuk penanganan atau pengolahan yang didasarkan pendekatan sistimatika dan ilmu pengetahuan dalam mengidentifikasi kemungkinan terjadinya bahaya (hazard) dn tindakan pengendaliannya pada titik-titik kritis dalam tahapan penanganan dan pengolahan,†tandas ibu satu anak, nenek dua cucu ini. (Humas UGM)