Pemerintah telah menetapkan pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur. Pembangunan IKN kemudian memunculkan tentang kelestarian keanekaragaman hayati di dalamnya. Tata bangunan dan tata kelola kawasan IKN diharapkan dapat menyesuaikan dengan ekosistem kawasan sehingga daya dukung lingkungan tidak mahal.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Nasional Kontribusi Biologi dalam Pembangunan Ibu Kota Nusantara Berkelanjutan, Rabu (10/8) di Balai Senat UGM. Dalam kegiatan itu menghadirkan Koordinator Tim Ahli Tim Transisi Otorita Ibu Kota Negara, Dr. Ir. Wicaksono Sarosa, dan Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. Ir. Moch Maksum., M.Si.
Wicaksono menyampaikan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur berdasarkan keinginan untuk membangun ibu kota dengan identitas nasional serta mengubah paradigma pembangunan dari Jawa sentris menjadi Indonesia sentris. IKN dibangun dengan mengunjungi Kota Dunia Untuk Semua yang berarti tidka hanya untuk manusia, tetapi juga untuk alam. Sementara misinya salah satunya untuk menciptakan kota yang berkelanjutan.
Prinsip dasar pembangunan IKN memadukan konsep forest city, smart city, dan sponge city yang artinya IKN akan menjadi kota cerdas yang berkelanjutan. IKN dibangun dan dikembangkan agar selaras dengan alam yang menjadi salah satu prinsip 24 KPI IKN.
Dalam prinsip tersebut, terdapat 3 KPI yang salah satunya adalah komitmen IKN untuk menjaga kawasan hutan dengan menetapkan 75% dari luas IKN sebesar 256.000 hektare dipertahankan sebagai ruang hijau dengan rincian 65% adalah kawasan lindung dan 10% kawasan pangan,”paparnya.
Dalam pengembangan IKN sebagai forest city, lanjutnya, terdapat prinsip-prinsip yang ditetapkan yakni nol deforestasi, konservasi kenaekaragaman hayati, pengelolaan hutan berkelanjutan, peningkatan stok karbon, pelibatan masyarakat adat dan lokal, serta perbaikan tata kelola dan tata guna lahan. 75% kawasan hutan yang dipertahankan sebagai kawasan lindung di IKN akan menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan yang diselesaikan dengan konsep kota yang padat dan padat agar tidak melebar ke pinggiran kota yang akan membabat hutan lebih banyak.
Koridor satwa juga akan dibangun seluas 30.000 hektare di WP IKN Utara serta restorasi area-area yang terdegradasi dan hutan dengan persemaian sekala besar di Mentawir,”urainya.
Wicaksono konsep kota kompak akan mendukung perwujudan konsep kota hutan. Dengan lahan yang kompak perjalanan akan lebih efektif dan 80% mobilitas di IKN ditekankan pada angkutan umum. Semua kendaraan baik umum maupun pribadi akan menggunakan sumber energi terbarukan, terutama tenaga surya.
Namun demikian, Wicaksono mengatakan ada tantangan terkait konsep sponge city atau pemandangan permukaan dan lebih banyak menyerap udara ke dalam tanah. Jenis tanah di IKN yang didominasi tanah clay shale dengan daya dukung rendah. Tanah tersebut sangat keras pada kondisi tertutup, tetapi akan berubah drastis dan menjadi lapuk jika ada kontak dengan udara dan udara. Selain itu tanah tersebut sangat tidak stabil pada lahan dengan kemiringan yang cukup tinggi. Tanah jenis ini memiliki tingkat kesuburan rendah dan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya restorasi hutan pembangunan dan kawasan budidaya pangan.
“Tantangan-tantangan ini perlu dijawab sekaligus menjadi peluang bagi para ahli biologi di Indonesia untuk berkontribusi dalam pembangunan IKN,”tegasnya.
Prof. Moch Maksum mengatakan bahwa dalam setiap pembangunan kawasan harus mengarah pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs Goals).
“Apapun sentuhan pembangunan kawasan rencanakan pada SDGs,” tuturnya.
Tak hanya itu, pembangunan kawasan seyogianya memperhatikan keseimbangan sistem sosiokultural dengan lingkunganya. Hal tersebut mulai dari tata nilai, sistem sosial kelembagaan, sistem artefak, dan sistem non manusia atau biologi.
“Kenapa ulin dan gaharu semakin langka? Karena masyarakat melihatnya pasarnya ada di sana dan ini jadi tantangan bagi teman biologi bagaimana melakukan domestikasi dan pengembangan lebih baik,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan dalam setiap hal perlu melihat aspek sosial, fisik pembangunan, ekologi, ekonomi, budaya, politik, dan kelembagaan. Unsur-unsur tersebut memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap tatanan sistem di sekitar.
“Jadi harus hati-hati menyentuhnya karena bahaya. Dari pengalaman karena abai dengan banyak program pembangunan yang gagal sehingga di Kaltim nantinya potensinya harus disesuaikan,”paparnya.
Sementara Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., mengatakan bahwa pembangunan IKN membawa banyak tantangan terkait ekosistem dan sumber alam yang merupakan sosial kapital Indonesia. Karenanya mempertahankan ekologi dan aspek-aspeknya merupakan hal yang harus dilakukan. Dalam hal ini disiplin ilmu biologi menjadi sangat penting untuk mengawal pembangunan IKN yang ramah bagi alam dan juga masyarakat sekitar. Ia berharap melalui seminar ini dapat memperoleh masukan maupun gagasan dalam mengurai masalah pembangunan IKN dan menjaga kelestarian keanekaragaman hayati setempat.
Dekan Fakultas Biologi UGM, Prof. Dr. Budi Setiadi Daryono., M.Agr.Sc., mengatakan perpindahan ibu kota negara ke Kalimantan merupakan salah satu langkah pemerintah Indonesia untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Namun di sisi lain pembangunan IKN akan menyebabkan perubahan terhadap keanekaragaman hayati di lokasi tersebut. Oleh karena itu, pembangunan IKN harus tetap memperhatikan kelestarian ekosistem dan berkelanjutan.
Biologi sebagai pusat dan hayati dikatakan Budi merasa berkewajiban untuk berkontribusi dalam pembangunan IKN khususnya terkait kelestarian keanekaragaman hayati. Menurutnya, IKN harus berada di pusat pemerintahan yang kondusif serta memiliki tata kelola yang baik dan berorientasi pada SDGs. Selain itu mampu menjadi contohan bahwa pusat pemerintahan tidak hanya tentang gedung berteknologi canggih, infrastruktur yang mumpuni namun juga lestari dan tidak menghabsisi harus keanekaragaman asli.
Penulis: Ika
Foto; Firsto