Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. dr. Irianiwati Widodo, Sp. PA (K)., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Patologi Anatomi, Kamis (11/8). Pada pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar di Balai Senat, Irianawati membawakan pidato yang berjudul Diagnosis Molekuler Patologi Anatomi pada Era Personalized Medicine Kanker Payudara.
Irianiwati Widodo menyampaikan bahwa kanker payudara hingga saat ini menjadi penyebab kematian tertinggi untuk kasus kanker pada wanita. Di Indonesia, sebagian besar diagnosis pasien kanker payudara sudah memasuki stadium lanjut, dimana sel kanker berukuran besar dengan kondisi metastasis lanjut sehingga angka kematiannya pun jadi tinggi. “Hal itu disebabkan tingkat kesadaran yang rendah akan kanker payudara, keterbatasan ketersediaan pelayanan medis dan stigma kanker itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan diagnosis kanker payudara sejak dini melalui diagnosis molekuler,” katanya.
Penelitian Irianiwati di Yogyakarta mendapatkan frekuensi kanker payudara subtipe TNBC (Triple Negative Breast Cancer) cukup tinggi, yakni 25 % dengan usia rerata pasien 51,42 tahun dengan ukuran rerata tumor 5,4 cm dan 70 persen pasien dengan kondisi metastasis limfonodi. Lalu, frekuensi pasien kanker subtipe basal-like sebanyak 67,1 % dengan rerata usia 51 tahun. Adapun tingkat ketahanan hidup 3 tahun pasien kanker payudara subtipe basal-like yang diteliti terbilang rendah yaitu 23,9 bulan dibandingkan non basal-like 26,1 bulan.
Pada kanker payudara, kata Irianiwati, terjadi berbagai mutasi gen dan protein-protein berlebih yang menyebabkan sel kanker membelah dan tubuh cepat. Namun begitu, di era personalized medicine memungkinkan pemberian terapi target untuk memblok pertumbuhan kanker dengan fokus pada gen dan protein-protein tertentu serta mengurangi kerusakan pada sel normal. “Terapi target merupakan terapi personal sesuai dengan jenis kanker dan stadiumnya,” paparnya.
Hingga saat ini pendekatan diagnosis diperoleh dari sampel biopsi jaringan kanker payudara yang dianggap sebagai tindakan invasif. Sedangkan lewat metode pengambilan sampel liquid biopsy merupakan metode baru yang non invasif dan menjanjikan. “Konsep liquid biopsy adalah memeriksa komponen-komponen tertentu tumor yang dilepaskan dalam sirkulasi darah, termasuk mutasi DNA dan pola metilasi DNA yang didapatkan untuk kepentingan diagnosis, follow up terapi dan prognosis,” ujarnya.
Selanjutnya lewat teknologi next-Generation Sequencing (NGS) dan analisisi berbasis PCR berperan sangat penting pada keberhasilan analisis circulating tumor DNA.
Menurutnya pemeriksaan komprehensif kanker payudara memang dimulai dari pemeriksaan morfologi dan pemeriksaan berbasis molekuler yang saat ini sudah dapat dilakukan di berbagai pusat laboratorium Patologi Anatomi di Indonesia meski masih terbatas pada pusat laboratorium besar. Oleh karena itu, dibutuhkan sarana dan prasarana dan SDM serta fasilitas teknologi terkini untuk mendukung pemeriksaan kanker payudara secara dini. “Diperlukan sinergi dan kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak supaya kanker payudara dapat ditangani secara berkelanjutan di setiap tahapannya, mulai dari diagnosis hingga perawatan, sehingga morbiditas dan mortalitas kanker payudara dapat diturunkan,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson