Radioterapi merupakan salah satu modalitas medis untuk melakukan treatment pada kasus-kasus tumor, terutama pada tumor ganas walaupun ada juga beberapa tumor jinak yang bisa kita tatalaksana dengan radioterapi. Hal tersebut disampaikan oleh dr. Ericko Ekaputra, Sp.Onk Rad, dari Departemen Radiologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada pada Siaran Bincang-bincang Santai Raisa Radio pada Senin, (15/8).
“Jadi, kita menggunakan sinar pengion, yaitu sinar yang bisa merubah struktur molekul dengan energi yang sangat tinggi. Apabila dibandingkan dengan energi x-ray dari rontgen thorax atau CT scan, itu bisa hampir dua ribu kali lipatnya. Jadi, energinya memang sangat tinggi sekali,” papar Ericko pada Senin, (15/8).
Ericko menyampaikan dengan radiasi pengion yang energinya sangat tinggi bisa memutus rantai DNA baik DNA tumor maupun DNA normal.
“Pada sel-sel tumor, DNA-nya itu lebih mudah dilakukan pemotongan karena dengan sinar. Dengan sinar itu, selain dia memotong DNA, dia juga akan menciptakan radikal bebas di sekitar inti sel. Apabila ada sinar yang ditembakkan, ketika dia bertemu air dan oksigen, dia akan membentuk radikal bebas. Nah, radikal bebas inilah yang akan membantu kita untuk membantu mematikan sel kanker,” tutur Ericko.
Radio terapi sendiri menurut Ericko sudah ada sejak dulu, pada tahun 1940-1950 sudah mulai dikenal sebagai tiga modalitas utama dalam tatalaksana kanker.
“Jadi, kalau zaman dahulu modalitas kanker itu sendiri-sendiri, tapi ketika jaman beranjak evidence based medicine semakin baik lagi, kita itu saling bekerja sama antarmodalitas. Modalitas surgery dengan modalitas kemoterapi, dengan modalitas radioterapi, sekarang punya perannya masing-masing dalam menatalaksana kanker,” ujarnya.
Secara substansial kemoterapi dan radioterapi memiliki perbedaan.
“Kalau kemoterapi itu kan kita memasukkan obat ke dalam pembuluh darah sehingga obat tersebut bisa beredar ke seluruh tubuh dan mematikan sel tumor. Tapi radioterapi adalah treatment regional, jadi yang kita target adalah tumor, bekas tumor, dan regionalnya atau area di sekitar tumor yang menurut kita ada kemungkinan untuk penyebaran tumor, Jadi, untuk efek sampingnya juga localize,” ujar Ericko.
Kendati demikian, menurut Ericko, bukan berarti seluruh tumor bisa di treatment dengan radioterapi karena masih bisa berpegang erat dengan evidende based medicine penelitian-penelitian tumor mana saja yang radiosensitif dan tumor mana saja yang radioresisten.
“Radioterapi ini berbeda pada setiap tumor, akan berbeda dimana dia masuknya. Pada kanker serviks stadium B1 kebawah, treatment of choice-nya adalah operasi, karena secara evidence based lebih baik operasi. Tapi stadium B2 ke atas, itu treatment of choice-nya adalah radioterapi karena secara evidence based treatment pada kanker stadium itu lebih baik dilakukan radioterapi daripada operasi dalam five years survival-nya. Jadi, kita tidak bisa judge radioterapi untuk semua kanker,” papar Ericko.
Ericko memaparkan proses radioterapi diawali dengan pasien yang berkonsultasi dengan dokter spesialis onkologi radiasi untuk melakukan indikasinya (Bisa tidak untuk dilakukan treatment radioterapi atau tidak). Apabila terdapat indikasi radiasi, dokter akan meneruskan untuk melakukan CT simulator.
“Jadi, kita akan planning bagaimana radiasinya, mana bagian yang akan kita targeting. Setelah targetnya bagus, setelah hitam di atas putih pasien dikatakan aman dari radiasi, maka radiasi bisa berjalan,” papar Ericko.
Penulis: Desy