Hasil riset terbaru dari akademisi UGM terkait persoalan penipuan di dunia digital telah diterbitkan. Riset tersebut diluncurkan melalui talkshow daring melalui platform zoom dan disiarkan melalui kanal Youtube CfDS UGM pada Rabu, (24/8). Riset itu berjudul ‘Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi’.
Riset terbaru tersebut merupakan hasil kerja sama tiga institusi penelitian, yakni Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Center for Digital Society UGM, serta PR2Media. Bentuk risetnya adalah survei nasional. Survei melibatkan 1.700 responden di 34 provinsi di Indonesia. Ketua peneliti, Novi Kurnia dari Departemen Ilmu Komunikasi UGM, menuturkan riset tersebut turut diikuti dengan Focus Group Discussion (FGD) sebanyak tiga kali. Satu FGD dilakukan sebelum survei untuk memperkuat variabel penelitian. Dua FGD lainnya dilakukan setelah survei untuk mendalami hasil suvei yang telah dilakukan.
“Survei kami terhadap 1.700 responden di 34 provinsi menemukan, 66,6% responden (1.123 orang) pernah menjadi korban,” ungkap Novi.
Terdapat banyak temuan menarik yang didapatkan riset tersebut. Salah satu yang menarik perhatian adalah terkait respons korban penipuan digital. Hasil riset menyebutkan bahwa hanya 1,8% dari total 1.123 responden korban penipuan yang melaporkan kasus mereka kepada pihak kepolisian. Lalu, apa tindakan yang paling banyak dilakukan korban? Mayoritas responden, atau sebanyak 48,3%, dketahui hanya sampai menceritakan kasus mereka kepada keluarga atau teman. Kemudian, sebanyak 37,9% lainnya, justru tidak melakukan apa-apa. Selebihnya, sebanyak 5,3% menceritakan kasus mereka kepada warganet, dan 5% sisanya melaporkan kepada perusahaan media sosial.
Padahal, hasil riset juga mengungkapkan bahwa sebanyak 97,3% responden sepakat bahwa kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk mencegah dan menangani penipuan digital. Usut punya usut, melalui FGD, riset berhasil menemukan jawaban kenapa angka pelaporan kepada pihak berwajib masih minim.
“Responden merasa alur pelaporan (selama ini) itu rumit, kadang-kadang tindak lanjut kasus tidak kelihatan, kemudian juga tidak puas dengan pelayanan publik, kerugian yang dianggap tidak seberapa dan identitas pelaku tidak dapat diketahui atau dilacak,” ungkap Novi.
Menanggapi hasil riset tersebut, para peneliti pun kemudian merekomendasikan pemerintah untuk membentuk sebuah platform pengaduan terintegrasi antar berbagai lembaga pemerintah. Sebenarnya, pemerintah selama ini telah mempunyai laman pengaduan. Dari institusi kepolisian, laman tersebut bernama Patrolisiber.id. Akan tetapi, para korban penipuan digital mengaku bahwa kasus mereka tidak mendapat tindak lanjut. Mereka merasa dinomorduakan karena kerugian mereka lebih “kecil” dari kasus-kasus lain yang ditangani oleh laman pelaporan pada kepolisian tersebut. Dan benar adanya, laman Patrolisiber.id, tidak hanya digunakan untuk kasus penipuan digital, tetapi mengurus segala jenis kejahatan di dunia digital, mulai dari perjudian, pornografi anak, perdagangan manusia, dan lain sebagainya.
Ide untuk merekomendasikan sebuah platform terintegrasi di atas hanya berdasar atas pengamatan peneliti pada penindakan kasus penipuan digital dari negara lain. Para peneliti salah satunya mencontohkan penanganan di Malaysia. Peneliti menemukan bahwa di Malaysia, penanganan kasus penipuan digital dibagi kepada berbagai institusi pemerintah. Diketahui untuk kasus penipuan finansial diampu oleh Bank Negara Malaysia, kasus penipuan melalui jaringan seluler seperti phishing diampu oleh Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC), dan lain sebagainya.
“Melihat praktik baik yang dilakukan negara-negara lain, tim peneliti percaya, upaya mengatasi penipuan digital harus dilakukan melalui kolaborasi lintas otoritas, salah satunya adalah perlunya platform pengaduan terintegrasi,” tutur Engelbertus Wendratama, salah satu tim peneliti riset.
Penulis: Aji