Pasca dua dekade reformasi, tidak bisa dipungkiri bahwa agenda reformasi soal pengentasan masalah kemiskinan, pengentasan kasus-kasus korupsi, problem penegakan hukum dan agenda keadilan, penebalan sentimen identitas berpotensi disintegrasi sosial, gejolak konflik dan kekerasan berantai belum terselesaikan dengan baik bahkan makin tidak berkesudahan. Meski begitu, reformasi telah melahirkan demokrasi yang lebih terbuka ditandai oleh partisipasi, transparansi dan kuasa politik yang akuntabel telah menjadi konteks tumbuhkembangnya kebebasan, baik level individu maupun kelompok saat mengartikulasikan kepentingannya.
Menurut Sosiolog UGM, Dr. Arie Sujito, meluapnya ekspresi kebebasan masyarakat dengan demokrasi yang lebih terbuka ini terfasilitasi oleh kebijakan keterbukaan dan transparansi, sekaligus gelombang pasang liberalisasi. Namun, pada kenyataannya distorsi atas kebebasan itu justru dimanfaatkan untuk menyerang kepentingan orang lain tanpa data dan nilai keadaban, tercermin dengan memamerkan hoax, hate speech, black propaganda yang cenderung negatif melampaui haknya dalam menjaga otonomi diri sehingga berisiko pada retaknya aturan dan kultur berdemokrasi itu secara praksis. “Ruang publik, terutama virtual, makin dicemari kepentingan sempit dengan dampak makin kumuh, kontestasi hasrat dominatif dengan abai hak orang lain, serta ekspresi kebencian pada derajat tertentu. Artinya kepentingan dan tujuan diri dengan menggunakan ragam cara yang justru merusak nalar dan nilai demokrasi,” kata Arie, Selasa (30/8).
Menurut Arie, diperlukan penegakan aturan main, komitmen dan kesadaran diri, kultur dan nilai keadaban dalam menyampaikan ekspresi di ruang publik. Bagi Arie, membersihkan ruang publik dari pencemaran, kekumuhan dan distorsi bukan berarti membatasi kebebasan. Namun, yang perlu dilakukan adalah membangun debat publik, dialog, permusyawaratan, literasi dan edukasi demokrasi dengan cara menanamkan ide-ide penghormatan dalam perbedaan, menjunjung kemartabatan dan kemanusiaan, sikap toleransi dalam kebaikan, serta memanfaatkan kebebasan dengan landasan nilai kebangsaan yang berposes untuk menuju demokrasi yang beradab. “Itulah demokrasi yang berkualitas, yang diantaranya ditandai adanya ruang publik yang sehat, memanfaatkan kebebasan tanpa mencederai hak orang lain,” kata Arie yang juga Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat dan Alumni.
Selain menyoroti kebebasan berpendapat di ruang publik, Arie juga menyoroti soal jalur partisipasi sosial masyarakat sipil yang berdaya untuk mengawasi dan melibatkan diri dalam proses politik, agar demokrasi kian bermakna melalui jalur masyarakat sipil. Perluasan arena sipil sebagai subjek demokrasi memungkinkan pembentukan politik kewargaan bisa tumbuh mengisi demokrasi. “Kita harus menggeser politik tidak semata urusan parpol dan pemilu, namun everyday life politic menjadi arena persemaian demokratisasi yang didalamnya nilai, sikap dan interaksi serta artikulasi kepentingan berproses dan bekerja,” jelasnya.
Untuk menuju demokrasi berkualitas, kata Arie, diperlukan upaya menggerakkan komponen demokrasi dengan landasan nilai keadaban, kemartabatan, keadilan, kemanusiaan dan kesejahteraan dalam mengelola kekuasaan, baik di aras negara yang didalamnya mencakup pemerintah, parlemen, aparatur dan perangkat regulasinya, serta yang lebih penting komponen lainnya yakni masyarakat sipil untuk pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara sesuai konstitusi.
Demokrasi yang mensejahterakan, menurut pandangan Arie, bisa memberi makna demokrasi pada kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat. Hal itu harus diikuti oleh pemberdayaan civil society, yakni mampu memanfaatkan perubahan dan kebebasan untuk membangun kemaslahatan bersama. Dengan politik warga negara yang sejahtera, diharapkan membawa demokrasi yang lebih mengakarkan pada komitmen nilai keseharian, menyentuh realitas yang sering disebut demokrasi yang bermanfaat untuk rakyatnya. “Tantangan yang harus dijawab dan diprioritaskan adalah membangun ruang publik yang sehat, kebebasan yang bermakna bagi sistem demokrasi yang berkualitas, terutama untuk memenuhi kebutuhan sebagai bangsa, masyarakat dan negara,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Okezone