Lima orang mahasiswa Filsafat UGM melakukan Eksplorasi Kearifan Lokal Arat Sabulungan di Kepulauan Mentawai. Beranggotakan Aza Khiatun Nisa, Nur Amalia Fitri, Muhammad Farid Wajdi, Kartika Situmorang, dan Moch Zihad Islami, penelitian dilakukan di dua tempat diantaranya yakni Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan (Pulau Siberut) dan Desa Tuapejat, Kecamatan Tuapejat (Pulau Sipora), Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 17-25 Juni 2022 lalu.
Aza Khiatun Nisa mengatakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu kearifan lokal Arat Sabulungan bisa menjadi salah satu model nasional yang dituangkan dalam strategi pembangunan berkelanjutan berbasis kultur. Sebab, penelitian ini berfokus pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada poin ke-12 yakni Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab dan poin ke-13 yakni Penanganan Perubahan Iklim. “Sejalan dengan penemuan yang didapatkan yakni pembangunan berkelanjutan yang memiliki kesan modern bisa berkolaborasi dengan kearifan lokal,” kata Aza dalam rilis yang dikirim selasa (30/8).
Dari hasil riset yang bertajuk Arat Sabulungan: Eksplorasi Konsep Penanganan Perubahan Iklim dan Konsumsi Sumber Daya Berkelanjutan pada Masyarakat Mentawai, diketahui bahwa Arat Sabulungan menuntun masyarakat Mentawai untuk menjaga hutan agar tercipta keseimbangan hidup antara komponen fisik dan non-fisik. Terdapat enam temuan praktik tradisi yang mengatur dan membatasi penggunaan sumber daya alam yakni kei-kei (tabu dan larangan), tulou (denda), alak toga (mas kawin), panaki (ritual minta izin), punen (pesta), dan leleiyo atau urai simatak (lagu rakyat).
Lebih jauh Aza menjelaskan bahwa Arat Sabulungan bagi masyarakat Mentawai memiliki peran dan kedudukan sebagai prinsip religius sekaligus filosofis hidup disamping mereka juga memeluk agama resmi. Selain sebagai prinsip religius Arat Sabulungan juga berperan sebagai sistem hukum dan norma sosial, serta sebagai prinsip konservasi lingkungan. “Salah satu contoh konservasi lingkungan yakni terkait izin. Pada izin terhadap pembangunan jalan, gedung, atau yang lainnya dari pemerintah tidak hanya sebatas pada pemerintah pusat melainkan juga pada masyarakat Mentawai melalui sikerei atau ketua adat,” paparnya.
Pada penelitian ini, Aza bersama rekannya menjadikan Aman Sasali selaku sikerei atau ketua adat menjadi salah satu narasumber riset mereka dalam mendalami sejarah Arat Sabulungan. Menurut Aman Sasali, istilah Arat Sabulungan itu merangkul banyak makna, di dalamnya ada adat, agama, pesta, dan tradisi. “Secara singkat, Arat itu adat. Sabulungan itu ritual. Kata bulung diambil dari kata tumbuh-tumbuhan. Jadi, singkatnya adalah adat yang diambil dari alam,” jelasnya.
Namun begitu, Arat Sabulungan menurutnya bukan hanya sebatas izin di atas kertas melainkan juga perlu ada izin secara ritual agar tidak diganggu oleh roh-roh leluhur. Sebab, masyarakat Mentawai juga memahami bahwa hutan yang mereka pakai itu adalah warisan untuk cucu-cucu mereka “Dulu ada yang pernah minta buka jalan. Kami bukannya tidak mau dikasih uang, tetapi berpikir bahwa itu tidak sebanding dengan masa depan cucu-cucu kami nantinya. Sekarang juga banyak kayu-kayu yang sudah tidak sebesar dulu,” ungkap Aman Sasali.
Penulis : Gusti Grehenson