Pesta demokrasi 2024 akan berlangsung tidak lama lagi. Di setiap menjelang pemilu atau masa kampanye, masing-masing calon akan sibuk memperkenalkan dirinya ke masyarakat. Tidak jarang mereka mendatangi para tokoh masyarakat setempat untuk mendapat dukungan suara agar bisa dipilih. Berkaca dari pengalaman pada pemilihan umum terdahulu, kegiatan seperti kampanye atau agenda blusukan, kehadiran calon peserta pemilu tidak jarang menyebabkan pergesekan dan konflik dalam masyarakat.
Berangkat dari fenomena tersebut tim PKM-RSH UGM yang terdiri dari Sherlly Rossa (FISIPOL), Mastri Imammusadin (FH), Aulia Lianasari (FEB), Ratnasiwi Ambarwati (FIB), dan Anisa Arum (FISIPOL) dengan dosen pembimbing Dr. R. B. Abdul Gaffar, S.IP., M.A. melakukan penelitian mengenai inklusivitas Komunitas Adat Sedulur Sikep Blora dalam pemilu. Penelitian dilakukan di Kampung Samin Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo dan Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong.
Dari hasil penelitian itu, kata Rossa, komunitas Adat Sedulur Sikep Blora diketahui merupakan pengikut Ki Samin Suro Engkrek dan Ki Samin Surosentiko dengan ajaran Kerukunannya mampu mewujudkan pemilu yang kondusif. Dalam ajaran Kerukunan yang mereka anut, terdapat falsafah “aja seneng nerak wewalere negara” yang mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam pemilu sebagai bentuk kepatuhan terhadap negara. “Sayangnya, nilai-nilai yang mereka anut belum terakomodasi dalam inklusivitas pemilu saat ini yang masih berfokus pada kerentanan fisik. Padahal, penerapan nilai Ajaran Kerukunan mampu meminimalkan konflik yang mungkin terjadi pada rangkaian kegiatan pemilu,”kata Rossa, Selasa (6/9).
Meski begitu, imbuhnya, komunitas Adat Sedulur Sikep mampu menyesuaikan diri dengan kampanye melalui audiensi ketua adat kepada masyarakat. Pramugi Prawiro Wijoyo atau kerap disapa Mbah Pram selaku Ketua Paguyuban Sedulur Sikep Sambongrejo selalu bersikap netral dengan menerima semua calon yang sowan. Namun, Mbah Pram dianggap mempunyai intuisi spiritual untuk menentukan preferensi siapa calon yang pantas didukung oleh Sedulur Sikep. “Preferensi tersebut kemudian mendorong Sedulur Sikep untuk bermusyawarah secara informal menentukan pilihan pemilu,” kata Rossa.
Selain itu, komunitas Sedulur Sikep Sambongrejo yang mengimplementasikan nilai-nilai mereka secara terorganisir dan sistematis, yang diwujudkan dengan menolak untuk terlibat dalam kampanye.
Sejalan dengan Sedulur Sikep Sambongrejo, kata Rossa, sesepuh adat Sedulur Sikep Klopoduwur yaitu Mbah Lasiyo juga memosisikan dirinya pengayom yang netral. “Sedaya niku sedulur,” ungkap Rossa menirukan ucapan Mbah Lasiyo yang menegaskan bahwa semua orang bagi Sedulur Sikep adalah saudara. Karena semua adalah saudara, maka dengan siapapun harus rukun dan harmonis sebagaimana wewaler “tresna pepadhane urip” yang dipegang teguh oleh Sedulur Sikep.
Dengan dasar ajaran Kerukunan itu, kata Rossa, Mbah Lasiyo selalu memberikan nasihat kepada para calon yang sowan untuk senantiasa berperilaku baik dan amanah bila terpilih. Di samping itu, sikap Mbah Lasiyo yang menerima semua ‘tamu politik’ tanpa terkecuali mampu mendorong terciptanya pemilu yang kondusif. “Kondisi tersebut turut mendukung inklusivitas dalam demokrasi modern, khususnya tahapan kampanye dalam pemilihan umum,” tegasnya.
Menurut Rossa, peran Mbah Pram dan Mbah Lasiyo sebagai penghubung kampanye berpengaruh besar dalam menentukan jumlah suara calon yang akan diperoleh nantinya. Pendekatan yang dilakukan oleh mereka untuk mempromosikan seorang calon terbukti dapat diterima oleh Sedulur Sikep dibandingkan mekanisme kampanye pada umumnya. “Perlu ada redesain kampanye agar nilai-nilai yang dianut komunitas adat di Indonesia, seperti Sedulur Sikep, dapat terakomodasi. Harapannya, desain kampanye yang lebih inklusif juga mampu diterima oleh masyarakat umum untuk pemilu berikutnya di tahun 2024,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson