Sejak program magang dalam kerangka Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), kebutuhan terhadap perlunya buku panduan magang di museum menjadi semakin nyata. Jangan sampai keberadaan mahasiswa magang dianggap sebagai tambahan tenaga pembantu umum.
Sesuatu yang keliru mahasiswa magang terkadang dipekerjakan sebagai tenaga pesuruh, misalnya menjadi pengantar surat, menjadi bell-boy, atau menjadi pembantu bagian kerumahtanggaan suatu kantor. Lembaga-lembaga yang menjadi tempat mahasiswa menjalankan magang nampaknya kurang memperhatikan hal ini dan dalam beberapa kasus ternyata mereka tidak atau belum memiliki semacam buku panduan dalam pelaksanaan program magang.
Museum sebagai tempat magang mahasiswa tak luput dari persoalan semacam ini. Oleh karena itu, perlu menyiapkan museum sebagai tempat magang bagi para mahasiswa. Museum dinilai sebagai tempat magang yang sangat strategis dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi.
“Karenanya pemilihan museum sebagai fokus pengembangan buku pembelajaran magang mahasiswa sangat relevan untuk saat ini,” ujar Dr. Agus Suwignyo, M.A saat diskusi dan bedah buku Magang di Museum: Buku Teks dengan Kerangka MBKM, di Museum Pendidikan UNY, Selasa (14/9).
Terkait MBKM, Agus menyebut museum memang pada akhirnya juga menjadi tempat tujuan magang. Artinya, dalam MBKM museum menjadi salah satu tempat pengiriman mahasiswa magang. Sayangnya terkait program MBKM selama ini seluruh perhatian hanya tercurah kepada program studi di kampus.
Kehebohan muncul saat program MBKM ada di pihak kampus dan maunya hanya mengirimkan mahasiswa ke banyak tempat, sementara tidak mempertimbangkan apakah semua tempat yang dituju sebagai tempat magang siap atau tidak menerima mahasiswa magang.
Bagi beberapa tempat magang yang sudah memiliki standar SOP kerja tidak masalah karena ketika mahasiswa masuk mau magang sudah tahu mau ditempatkan di divisi yang mana. Berbeda dengan yang tidak memiliki SOP maka mereka akan mengalami kebingungan menempatkan mahasiswa magang.
“Hal semacam ini saya kira tidak hanya di museum, tapi juga di tempat-tempat yang lain. Terus bingung mau ditempatkan dimana, akhirnya apa yang terjadi kadang-kadang mahasiswa ditempatkan di tempat yang tidak semestinya,” katanya.
Buku Magang di Museum: Buku Teks dengan Kerangka MBKM adalah buku pendampingan untuk museum dalam rangka bagaimana menerima mahasiswa yang akan magang. Buku Magang di Museum hasil kerja sama UGM, UNY dan Perkumpulan Prodi Sejarah se-Indonesia tidak hanya untuk kalangan kampus, tapi juga diperuntukan untuk pegangan para pengelola museum.
Agus mengakui jauh sebelum ada program MBKM, museum sudah menjadi tempat magang para mahasiswa. Hanya saja dengan MBKM skalanya jauh lebih besar. Sayangnya, belum ada pemikiran untuk membantu museum menyiapkan diri sebagai tempat magang yang sesuai dengan tujuan magang.
Oleh karena itu, menurut Agus perlu kiranya mendalami bidang-bidang kerja di museum dan bidang-bidang keahlian apa yang harus dimiliki. Mereka yang bekerja di museum harus diklasifikasikan sehingga ketika mahasiswa datang lebih mudah menempatkan mereka ke divisi mana sehingga penempatan lebih sesuai dengan kebutuhan.
Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D., IPM., ASEAN.Eng, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, menambahkan tentang magang di museum ini sangat menarik ketika dikaitkan Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka. MBKM sebagai upaya memperluas definisi belajar di perguruan tinggi maka pembelajaran tidak hanya di kampus atau di kelas, laboratorium, perpustakaan tapi bagaimana mahasiswa bisa memanfaatkan semesta ini sebagai media belajar.
“Semesta sebagai media belajar saya kira sebagai prinsip yang dibawa para pendidik karena dahulu Ki Hadjar Dewantara juga menggarisbawahi soal ini dengan mengistilahkan tempat belajar itu adalah taman, dan tempat belajar bisa di manapun dan dari manapun,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : UNY Community