Yogya (KU) – Kearifan lokal untuk mencari hasil laut sesungguhnya masih dilakukan oleh nelayan di pesisir nusantara. Beberapa di antaranya telah dilakukan oleh Suku Laut di Pulau Bangka dan nelayan lokal di Brebes, Jawa Tengah.
Suku Laut merupakan salah satu suku yang mendiami perairan Riau, Bangka, dan Belitung. Karena sering hidup di atas perahu, mereka kerap disebut orang perahu. Suku Laut mengambil hasil laut ternyata hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, bukan untuk mengeksploitasi laut.
Hal ini dapat dilihat dari kesederhanaan alat yang digunakan untuk melaut. Kesederhanaan alat yang dimiliki bukan karena keterbatasan sumber daya dan pengetahuan teknologi. Namun, kendala melaut diadaptasi sesuai dengan pengetahuan dan tantangan alamnya dalam menentukan strategi mempertahankan eksistensinya. “Pengetahuan budayanya digunakan untuk mengantisipasi kegiatan melautnya dan laut merupakan satu-satunya alternatif yang dapat menghidupi tidak saja jasmaninya, tetapi totalitas sumber kehidupan batinnya,” ujar sosiolog Universitas Sriwijaya (Unsri), Mulyanto, dalam Diskusi Panel Konferensi Nasional Kedaulatan Maritim Indonesia yang digelar di Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (14/5).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mulyanto, Suku Laut sering berpindah dari pulau ke pulau. Beberapa di antaranya di pulau kecil di Bangka, seperti Pulau Lepar, Pongok, dan pulau di sekitar Laut China Selatan. “Mereka ada yang menetap di Pulau Pongok. Kepala suku seorang perempuan. Mereka diberi bantuan membuat rumah, tapi tetap saja hidup dan membangun rumah di pinggir pantai,” terangnya.
Menurut Mulyanto, Suku Laut masih mengandalkan bintang untuk menentukan arah perahu saat mencari ikan. Jangankan menggunakan teknologi yang lebih canggih, alat semacam kompas saja belum pernah mereka lihat. “Mereka tertinggal dalam teknologi, tapi kearifan mereka terhadap laut membuat mereka betah hidup sebagai pelaut. Itulah Suku Laut. Hidupnya sederhana, lugu, dan jujur, tetapi orang-orang dari kelompok masyarakat lain menganggapnya hidup primitif, miskin, dan keras kepala,” tambahnya.
Sementara itu, staf pengajar Universitas Diponegoro (Undip), Achmad Sahri, mengatakan kerang simping merupakan komoditas perikanan penting di Kabupaten Brebes. Komoditas ini telah berhasil dipasok ke Jakarta untuk diekspor ke beberapa negara, seperti Singapura, Taiwan, dan Hongkong. Berdasarkan pengalaman masyarakat nelayan setempat, penangkapan kerang simping ini hanya dilakukan pada musim tertentu, yaitu bersamaan dengan musim penangkapan udang.
Setelah diteliti oleh tim peneliti Undip, terbukti bila ditangkap bukan pada musimnya, tidak banyak dihasilkan kerang dengan ukuran dan jumlah yang layak secara ekonomis. Bahkan, dari 15 stasiun penangkapan di perairan utara Jawa diketahui hanya empat stasiun yang banyak terdapat kerang simping. “Untuk musim penangkapan, panjang kerang yang diperlukan minimal 5,5 cm. Sementara bukan di musimnya, untuk pemenuhan pasar lokal saja belum memenuhi, untuk jumlah dan berat tidak memenuhi kriteria pasar,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)