Oleh Dr. Arie Sujito, S.Si., M.Si.
Apa tantangan yang harus dihadapi dalam meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia? Seberapa besar kemampuan mengelola masyarakat majemuk dalam membangun politik kewargaan? Apa agenda strategis yang perlu dirumuskan dan ditempuh?
Pertanyaan itu diajukan sebagai bahan refleksi tentang situasi demokrasi dan demokratisasi yang berlangsung di Indonesia, yang kira-kira telah berusia lebih dari dua dekade sejak reformasi 98 dicanangkan. Tonggak perubahan sekaligus konsensus politik yang berisi pembaharuan di berbagai bidang telah menghasilkan ragam capaian penting. Paling tidak, jika neraca era reformasi dengan sebelumnya (rezim orde baru) diperbandingkan, persemaian reformasi dan demokrasi telah berhasil mengonsolidasikan sumber daya bangsa ini untuk bergerak maju hingga memasuki babak baru era masyarakat kewargaan, dan bahkan dalam limitasi dan konteks tertentu negara demokrasi yang terkonsolidasi.
Meskipun demikian, dari rangkaian capaian itu, tidak bisa dipungkiri masih didapati beberapa agenda tata bernegara dengan segala komponennya, bangunan masyarakat sipil yang belum bisa dituntaskan, yang dianggap sebagai kerentanan. Jika proses dan agenda itu gagal diatasi maka kondisi demikian dapat memerosotkan capaian yang sudah didapatkan. Sebut saja misalnya masalah kemiskinan; kasus-kasus korupsi; problem penegakan hukum dan agenda keadilan; pembengkakan dan penebalan sentimen identitas yang menjadi potensi disintegrasi sosial; juga gejolak konflik dan kekerasan berantai yang tidak berkesudahan.
Gumpalan masalah demikian kerap kali menyelinap di balik momentum politik nasional dan lokal, berproses kontraproduktif dan sangat memprihatinkan. Kecenderungan ketidakpercayaan pada demokrasi, apalagi situasi politik berbiaya tinggi dengan menghasilkan praktik demokrasi oligarki serta dalam batas tertentu romantis otoriterisme lama kembali mendapatkan tempat, muncul memanipulasi wacana dan konstruksi politik kita. Inilah gambaran ironi realitas demokrasi dan demokratisasi yang tidak bisa dianggap remeh.
Problem Struktural
Problem struktural seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan memang masih menjadi beban negeri ini, menjadi akar masalah dari komplikasi praktik kehidupan di level tata kekuasaan politik dan ekonomi, hukum, dan bermasyarakat. Sekalipun pembangunan dan agenda kebijakan sosial terus menerus diupayakan, ibarat membangun “istana pasir”, gelombang pasang tidak terkendali meruntuhkan bangunan, roboh diterpa dalam sekejap. Apalagi situasi semacam ini cenderung dibenturkan dengan penyelenggaraan “demokrasi semu” yang ditafsirkan seolah demokratisasi tidak menyejahterakan masyarakat. Risiko hilangnya ikatan sebagai bangsa karena isu kebangsaan dan pemerataan digeser oleh pementasan kalkulasi blok politik pengambilan keputusan yang dianggap abai pada nasib masyarakat.
Dengan situasi itu, relevansi memperkuat komitmen politik yang mengedepankan keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan perlu ditunjukkan secara nyata. Sekalipun kebijakan sebagaimana telah ditempuh selama ini berupaya ke arah itu, hanya saja beberapa kasus menunjukkan bukti saling bertubrukan, fragmentasi satu sama lain yang di dalamnya justru tidak efektif menjawab problem mendasar masyarakat. Karena itu koreksi mendasar dengan mengupayakan perbaikan konstruksi keterhubungan substansial antara komitmen politik kesejahteraan dan good policy harus mendapatkan porsi besar. Itulah kunci agar tiap kebijakan memiliki makna sosial keadilan sebagai bangsa.
Tidak sekadar instrumentalisasi dan birokratisasi prosedural berlebihan yang ditonjolkan sebagai ekspresi over governmentality, tetapi sebaliknya nilai substansial berupa manfaat dan proses akuntabilitas sosial yakni kebijakan yang berorientasi memecahkan teka-teki lama problem struktural hendaknya menjadi prioritas ditangani negara. Itu artinya, baik pemerintah maupun parlemen dalam hal mengambil keputusan strategis tidak sekadar membuat aturan, kebijakan, atau tata kelola normatif semata namun mengawal dan memastikan kebijakan bekerja efektif dan bermanfaat kepada masyarakat luas. Demokrasi yang berproses dengan baik dan berkualitas serta akuntabel untuk tujuan keadilan dan kepentingan bangsa akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Tercemarnya Ruang Publik
Demokrasi yang ditandai oleh partisipasi, transparansi, dan kuasa politik yang akuntabel telah menjadi konteks tumbuh kembangnya kebebasan, baik di level individu maupun kelompok, saat mengartikulasikan kepentingan dengan berbagai wujudnya. Kemewahan kebebasan yang diantaranya berkorelasi positif dengan terbangunnya perluasan dan pendalaman ruang publik, di situlah harapannya terjamin hak asasi manusia sesuai konstitusi dan demokrasi.
Dalam konteks demikian, meluapnya ekspresi kebebasan masyarakat yang terfasilitasi oleh kebijakan keterbukaan dan transparansi, sekaligus gelombang pasang liberalisasi menjadi alasan kuat artikulasi kebebasan dilakukan seoptimal mungkin. Pembentukan kesadaran diri dan otonomi dalam memperjuangkan hak dengan memanfaatkan momentum demokratisasi tersebut sangat bagus, tentu dengan mengandalkan landasan sikap penghormatan pada perbedaan dan nilai kemanusiaan serta kemartabatan sebagai bangsa.
Namun kenyataan distorsi atas kebebasan yang justru dimanfaatkan untuk menyerang kepentingan orang lain tanpa data dan nilai keadaban, tercermin dengan hoax, hate speech, black propaganda yang cenderung negatif melampaui haknya dalam menjaga otonomi diri, berisiko pada retaknya aturan dan kultur berdemokrasi itu secara praktis. Ruang publik, terutama virtual, makin dicemari kepentingan sempit dengan dampak makin kumuh, kontestasi hasrat dominatif dengan abai hak orang lain, serta ekspresi kebencian pada derajat tertentu dapat disebut sebagai “kepentingan mendahului nalar”. Artinya kepentingan dan tujuan diri dengan menggunakan ragam cara yang justru merusak nalar dan nilai demokrasi. Penegakan aturan main, komitmen dan kesadaran diri, kultur dan nilai keadaban adalah rangkaian faktor penting yang menjelaskan apakah demokrasi berkualitas atau tidak yang ditunjukkan secara praktis.
Membersihkan ruang publik dari pencemaran, kekumuhan, dan distorsi bukan berarti membatasi kebebasan. Yang perlu dilakukan adalah membangun debat publik, dialog, musyawarah, edukasi demokrasi dengan menanamkan ide-ide penghormatan dalam perbedaan, menjunjung kemartabatan dan kemanusiaan, sikap toleransi dalam kebaikan, serta memanfaatkan kebebasan dengan landasan nilai kebangsaan yang berproses menuju demokrasi yang beradab. Itulah demokrasi yang berkualitas, yang di antaranya ditandai oleh ruang publik yang sehat, memanfaatkan kebebasan tanpa mencederai hak orang lain.
Emansipasi Demokrasi
Momentum dua dekade demokrasi barangkali dapat dijadikan fase mengoreksi strategi demokratisasi. Harus kita akui, energi kita dalam reformasi dan demokrasi terforsir ke dalam kerangkeng bangunan institusi dan instrumentalisasi cara bernegara. Bahkan, terlalu memanjakan ruang manuver operasi komponen parliamentarism (lembaga negara, parlemen, parpol dan lembaga-lembaga elektoral sejenis) yang ditunjukan berupa set-up kelembagaan, regulasi, tata kelola dan pendanaan. Sementara kondisi masyarakat sipil, alokasi sumber daya untuk membantu strengthening dan empowering civil society terlalu minimal. Ketidakberimbangan fokus demokratisasi ini berakibat situasi di mana kerusakan institusi dan suprastruktur demokrasi akan mudah merembet, menyebar, dan menular ke masyarakat dengan segala kerentanannya.
Ilustrasi sederhana misalnya, relasi sosial masyarakat antar kelompok yang pada mulanya kohesif, tiba-tiba mengalami eskalasi konflik dan kekerasan yang terfasilitasi saat momentum pileg, pilpres, maupun pilkada. Kerentanan masyarakat terkoyak saat politik elektoral yang kian dangkal (banalitas), dan aktor politik di institusi demokrasi yang makin masuk pusaran sempit, bersaing secara tidak sehat.
Apalagi dalam arena yang berbeda, sumbatan politik oligarki selalu menjadi pangkal masalah, karena berdampak pada pola politik yang elitis dan makin menjauhkan “demokrasi”, yakni ditandai munculnya keputusan-keputusan yang kontraproduktif dengan kehendak rakyat. Dalam prosesnya, dampak atau imbas dari oligarki yang terpelihara itu, bermunculan distrust pada lembaga-lembaga demokrasi dan tata kelola bernegara. Demokrasi, dalam derajat tertentu dianggap tidak efektif bagi jalannya tata kelola kuasa, dan bahkan terdistorsi pada situasi ambivalensi: mencintai demokrasi tetapi anti politik. Ini ancaman berbahaya.
Dalam konteks demikian, kita perlu memberikan perimbangan. Konsentrasi politik demokrasi tidak sekadar menumpukan diri pada bangunan kelembagaan dan suprastruktur politik serta institusi formal kaitannya dengan elektoral, namun hendaknya dibarengi perlunya pembentukan subjek-subjek kewargaan dan kultur politik, di mana penguatan partisipasi sosial didalam arena pembangunan, pemberdayaan dan proses politik di semua lini akan menjadi basis keterhubungan demokrasi dan praktik kewargaan.
Menghubungkan demokrasi dan kesejahteraan berarti membuka keran atau jalur partisipasi sosial kepada masyarakat sipil yang berdaya, untuk mengawasi dan melibatkan diri dalam proses politik agar demokrasi kian bermakna. Perluasan arena sipil sebagai subjek demokrasi memungkinkan politik kewargaan tumbuh mengisi demokrasi. Bagaimanapun, di mana kejumudan demokrasi karena jebakan elitisasi dan oligarki serta tercemarnya ekologi sosial terjadi, politik emansipasi demokrasi dengan memperkuat kembali masyarakat sipil menjadi jalan alternatif. Politik tidak semata urusan parpol dan pemilu. Everyday life politic menjadi arena persemaian demokratisasi yang di dalamnya nilai, sikap, dan interaksi serta artikulasi kepentingan berproses dan bekerja.
Beberapa Agenda
Menuju demokrasi berkualitas berarti menggerakkan komponen demokrasi dengan landasan nilai keadaban, kemartabatan, keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan dalam mengelola kekuasaan, baik di aras negara maupun yang lebih penting masyarakat sipil untuk pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara.
Landasan kebijakan yang tepat sesuai konstitusi, perlu terus menerus diorientasikan pada pencapaian keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan bangsa. Demokrasi yang menyejahterakan berarti memberi makna demokrasi pada kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat. Hal demikian tidak mungkin tanpa keberdayaan civil society, yakni mampu memanfaatkan perubahan dan kebebasan untuk membangun kemaslahatan bersama. Tantangan yang harus dijawab dan diprioritaskan adalah membangun ruang publik yang sehat, kebebasan yang bermakna bagi sistem demokrasi yang berkualitas, terutama untuk memenuhi kebutuhan sebagai bangsa, masyarakat, dan negara.