Arus urbanisasi masih menjadi fenomena. Bukan perkara mudah untuk dicarikan solusi dan terlalu banyak penjelas kenapa mereka yang usia produktif tidak betah tinggal di desa.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan RI, Prof. Anwar Sanusi., Ph.D., menyebut salah satu faktor penyebab hal itu adalah banyaknya desa yang masih mengandalkan sektor-sektor primer di pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain yang sifatnya masih industri primer. Upah minim pun mereka dapatkan saat bekerja di desa.
Sementara karena pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang terjadi menjadikan Upah Minimun Provinsi terus mengalami kenaikan. Seperti di Jawa Timur pernah menetapkan UMP sebesar 2,5 juta rupiah per bulan sedangkan seorang buruh tani di Ponorogo hanya bisa mendapatkan upah 60-75 ribu per hari atau 1,8 juta per bulan.
“Bayangkan mereka bekerja selama 30 hari tanpa istirahat hanya mendapatkan 1,8 juta. Mereka menjadi buruh, pekerja di pabrik-pabrik, misalnya di Surabaya, Sidoarjo, mereka mendapatkan minimal 2,5 juta. Kondisi inilah salah satunya yang membuat bahwa tinggal di desa adalah sesuatu yang tidak mudah,” katanya, di Fakultas Geografi UGM, Selasa (20/9).
Bagi banyak pihak persoalan tersebut tentunya cukup menantang. Meskipun pemerintah kemudian mendorong dengan mengucurkan dana desa yang bisa dipergunakan untuk pertumbuhan sekaligus pemberdayaan masyarakat, nampaknya tidak cukup mudah juga menggerakkan mereka di desa.
Menjadi pembicara Ministerial Lecture bertema Arah, Transisi, dan Implementasi Kebijakan Ketenagakerjaan Indonesia, Anwar Sanusi menyatakan terdapat tantangan besar ketenagakerjaan saat ini. Ada tiga tema besar yang perlu dikupas yaitu menyangkut bagaimana pasar tenaga kerja di Indonesia, tantangan pembangunan ketenagakerjaan Indonesia dan respons kebijakan yang dilakukan pemerintah terkait kondisi kekinian dan tantangan yang dihadapi seputar ketenagakerjaan.
Terkait persentase penduduk bekerja menurut perkotaan dan desa maka ada yang menarik yakni di perkotaan ternyata lebih banyak memberikan lapangan pekerjaan dibandingkan pedesaan. Semenjak tahun 2015 pencipta lapangan pekerjaan semakin cederung terdekonsentrasi di perkotaan.
“Penciptaan lapangan kerja ada pada lapangan kerja tersier dan sekunder relatif meningkat dibanding sektor primer. Ini tentunya tantangan yang perlu direspons dengan kebijakan yang tepat,” ucapnya.
Dari sisi mereka bekerja, Sanusi menyampaikan hampir semua tren jenis pekerjaan di kelompokan blue collar, grey collar, dan white collar. Mereka yang banyak bekerja adalah di kelompok kerah biru atau kerah abu-abu, sementara yang berkerah putih masih sedikit.
Dengan demikian, angkatan kerja Indonesia saat ini masih didominasi oleh angkatan kerja blue dan grey. Mereka yang bekerja di sektor-sektor yang sifatnya dasar dan menengah, sedangkan di sektor yang sifatnya profesional masih sangat kecil.
“Menariknya lagi mereka banyak bekerja di sektor-sektor informal. Apalagi di saat pandemik, sektor informal memang memberikan semacam perlindungan sangat baik sebagai pengaman untuk orang agar tetap bekerja,” katanya.
Dalam Ministerial Lecture serie #4 sebagai kegiatan mendukung G-20 Presidency of Indonesia ; recover Together, recover Stronger, menghadirkan pula pembicara Dr. Sukamdi, M.Sc, Pakar Kependudukan dan Ketenagakerjaan, dosen Fakultas Geografi UGM. Mengangkat bahasan “Isu Ketenagakerjaan Menyongsong Indonesia Emas”, ia menyampaikan mengapa Isu ketenagakerjaan penting untuk dibahas.
Menurutnya, Indonesia telah mencapai tahap pertama bonus demografi yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar. Kenaikan jumlah penduduk usia produktif tersebut masih akan terus berlangsung sampai 2035 dan akan cenderung melambat.
“Bonus demografi hanya akan memberikan keuntungan ekonomi jika mereka yang berusia produktif benar-benar produktif. Untuk itu dibutuhkan kesempatan kerja dalam jumlah yang memadai dan pendapatan yang tinggi untuk dapat hidup layak,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho