Kenaikan harga BBM bersubsidi direspons dengan gelombang protes yang cukup luas oleh masyarakat. Alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dikarenakan harga minyak dan gas dunia yang mengalami kenaikan akibat konflik Ukraina-Rusia. Kelangkaan dan kenaikan harga minyak global menjadi sebuah dilema yang cukup berat yang harus direspons pemerintah. Apalagi sejak tahun 2002 Indonesia sudah menjadi Net Importir Minyak Dunia. Oleh karena itu, sudah selayaknya negara berpikir keras tentang transisi energi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) agar ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi energi fosil dapat dialihkan. Meski begitu, pemerintah juga perlu berpikir keras untuk mempersiapkan kecukupan dan ketersediaan kuota BBM bersubsidi hingga akhir tahun ini.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Akademik yang bertajuk BBM dan Kenaikan harga BBM Bersubsdi, antara Beban APBN, Ketersediaan dan Keberlanjutan di ruang Auditorium Mandiri, Fisipol UGM, Kamis (22/9). Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, SIP., MPA., Ph.D., mengatakan ketersediaan energi merupakan bagian dari pelayanan yang diberikan oleh negara selain pangan. Menurutnya energi menjadi barang publik yang paling esensial. Menurutnya, negara bertanggung jawab atas ketersediaan energi tersebut agar bisa diakses oleh masyarakat. “Negara bertanggung jawab atas ketersediaan energi, harus cukup, terjangkau dan dapat diakses,” katanya.
Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi perlu dievaluasi, sebab menaikkan harga BBM bersubsidi sebaiknya bukan lagi dari alasan beban anggaran. ”Perlu evaluasi secara komprehensif soal tata kelola. Selama ini, pengambilan kebijakan didominasi pada rezim keuangan. Jika masalah pada subsidi tidak tepat sasaran bukan dihilangkan, namun perlu tata kelola yang baik,” tegasnya.
Menurutnya, kenaikan harga BBM bukan persoalan besarnya beban anggaran subsidi, namun harus dilihat dari perspektif tanggung jawab negara untuk memastikan ketersediaan dan akses pada energi tersebut. “Jangan sampai jika tidak tersedia dan tidak bisa diakses. Karenanya perlu dirancang transisi energi pada energi baru dan terbarukan. Menggantungkan pada energi fosil adalah pemikiran lampau. Saya kira kebijakan transisi energi sangat penting,” katanya.
Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Agung Satrio Nugroho, M.Sc., memaparkan pendistribusian BBM bersubsidi kemungkinan bisa tidak tepat sasaran di mana seharusnya hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat kecil. Dari hasil riset yang dilakukan oleh PSE, kata Agung, dari 7.000 lebih kecamatan di Indonesia sekitar 42 persen saja yang sudah memiliki penyalur distribusi resmi BBM bersubsidi atau SPBU. ”Artinya aksesibilitas fasilitas ketersediaan BBM itu belum separuh lebih,” katanya.
Anggota peneliti PSE UGM lainnya, Yudistira Hendra Permana, Ph.D., mengatakan anggaran subsidi BBM sebenarnya sudah mulai berkurang sejak tahun 2015. Lalu, pada tahun 2017 pertalite diperkenalkan dan premium mulai dihilangkan. Sayangnya, harga pertalite tidak banyak berubah. Setelah premium dihapuskan, masyarakat beralih ke pertalite karena harga yang lebih murah dibandingkan dengan BBM non subsidi lainnya. “Dari kebutuhan sebelumnya hanya satu juta kiloliter per bulan dan saat ini mencapai 2,5 juta kiloliter per bulan. Tampaknya kuota nasional BBM bersubsidi harus dinaikkan dan ditambah agar bisa diakses hingga akhir tahun,” katanya
Hal senada juga disampaikan anggota peneliti PSE, Saiqa Ilham Akbar, M.Sc. Ia menyampaikan bahwa kuota BBM yang terbatas sekarang ini hanya pada pasokan kuota BBM bersubsidi yang akan habis pada pertengahan Oktober ini, namun bukan berarti produk BBM lainnya tidak ada. “Jika tidak ada pertalite maka masyarakat akan mengakses BBM non bersubsidi. Karena kilang minyak kita tetap berjalan memproduksi BBM,” katanya.
Raras Cahyafitri M.Sc., dari Pusat Stdui Perdagangan Dunia UGM menuturkan kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak bagi masyarakat kecil dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, pemerintah telah memberikan bantuan kompensasi dari kenaikan harga BBM. Soal kebijakan subsidi BBM menurutnya sudah ada sejak era Orde Baru. Tapi sebagai negara net importir minyak, kebijakan subsidi perlu dievaluasi kembali apakah perlu dipertahankan atau tidak di tengah adanya ketergantungan pada energi fosil dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang masih belum optimal.
Penulis : Gusti Grehenson