Dewan Guru Besar (DGB) UGM kembali mengadakan forum diskusi terkait topik agraria pada Rabu, (28/9). Kali ini pokok pembahasan forum mengarah kepada kesejahteraan para petani di Indonesia.
Salah satu pembicara, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH., M.Si, menuturkan bahwa Indonesia sudah mempunyai sejumlah regulasi yang mengatur dan menjamin kehidupan para petani, mulai dari UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, dan lain sebagainya sampai yang terbaru adalah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Lantas apakah sejauh ini dengan sejumlah peraturan perundang-undangan di atas nasib petani sudah makmur? Prof. Nurhasan Ismail mengatakan bahwa jika “makmur” tersebut diukur dari pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, serta pendidikan, maka nasib petani relatif lumayan layak. Akan tetapi, jika kemakmuran petani diukur dari luasnya kepemilikan atas tanah, dimana menurut UU No. 56 Prp/1960 luas kepemilikan yang layak adalah minimal 2 Ha, nasib petani tampaknya masih harus dicermati. Sebab, sejauh ini, petani khususnya di Jawa rata-rata hanya memiliki kurang dari ¼ Ha tanah pertanian. Menyambung hal itu, Prof. Nurhasan Ismail mengungkap adanya ketimpangan kepemilikan tanah yang relatif tinggi di tengah masyarakat.
“(Dimana) 1% penduduk menguasai 63% tanah di Indonesia, berarti penduduk Indonesia yang 99% lainnya harus berebut tanah 37% (sisanya),” ungkap Prof. Nurhasan Ismail ketika mengutip data ketimpangan pemilikan tanah dalam forum ‘Pemikiran Bulaksumur UGM #18 : Nasib Petani dari UU Pokok Agraria sampai UU Desa dan UU Cipta Kerja’ yang didiarkan melalui kanal Youtube Universitas Gadjah Mada pada Rabu, (28/9).
Prof. Nurhasan Ismail mensinyalir hal tersebut terjadi karena rendahnya komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan itu. Diketahui bahwa dalam UU No. 56 Prp/1960 dinyatakan bahwa: ‘Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar’.
“Ambil contoh program reforma agraria. Program itu (seperti) mati suri, dimana peraturannya tetap berlaku tapi sejak orde baru tidak pernah diterapkan, tidak pernah diberlakukan. Kenapa? Karena (program) reforma agraria itu dalam politik pembangunan ekonomi ditempatkan sebagai kendala bagi proses mencapai pertumbuhan ekonomi yang cenderung bersandar kepada peranan dari pelaku-pelaku usaha skala besar.
Kemudian juga semangat untuk menjamin keberlanjutan keberadaan lahan pertanian seperti yang diamanatkan oleh UU No.41 Tahun 2009 dihadapkan pada kondisi dilematis. Seharusnya ketika lahan pertanian yang telah ada dialihfungsikan untuk pembangunan infrastruktur nan bersifat publik, maka tanah pertanian itu harus diganti. Namun sayangnya, tanah pengganti lahan pertanian itu semakin terbatas. Di sisi lain, Prof. Nurhasan Ismail turut melihat bahwa pemerintah daerah sekarang ini juga tidak mampu menekan agresivitas perusahaan perumahan/industri yang dengan mudah mendapatkan izin alih fungsi tanah-tanah pertanian yang ada.
Dalam forum Pemikiran Bulaksumur UGM #18 diatas, masih ada tiga pembicara lainnya dengan pembahasan serupa, antara lain ada analisis sosiologi dari Dr. Arie Sujito atas program pembangunan, kemudian ada rentang kisah nasib dan kesejahteraan petani sejak zaman kolonial oleh Prof. Pujo Semedi, serta pembahasan kesejahteraan petani dari Ketua Bina Desa, Dwi Astuti. Simak rekaman forum Pemikiran Bulaksumur UGM #18 tersebut melalui tautan disini.
Penulis: Aji