Indonesia kaya akan sumber daya alam dan memiliki porsi terbesar dalam UMKM. Ada sekitar 64 juta pelaku usaha atau 99,9 persen pelaku usaha nasional menghadapi permasalahan krusial dalam mengakselerasi pembangunan keuangan yang berkelanjutan.
Dalam beberapa tahun ke depan Indonesia membutuhkan investasi sektor berkelanjutan sebesar 67, 803 triliun. Hal ini menjadi program besar dan membutuhkan langkah-langkah yang tertata dengan baik dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.
Demikian disampaikan Dr. Yulius MA, Deputi Bidang Usaha Mikro, Kementerian Koperasi dan UKM, saat menjadi pembicara kunci Seminar Tata Kelola Keuangan Berkelanjutan Untuk Penguatan Ekonomi Rakyat dan Lingkungan Yang Berkeadilan. Seminar diselenggarakan Social Research Centre (SOREAC) Fisipol UGM bersama Tukindonesia, The Prakarsa dan Responsibankindonesia.
“Kita bersyukur upaya pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi mencapai 5, 44 persen di kuartal kedua tahun 2022. Meski begitu kita perlu terus mendorong perluasan akses untuk implementasi keuangan yang berkelanjutan dalam bidang UMKM agar UMKM mampu melanjutkan prinsip-prinsip berkelanjutan dalam usahanya,” ujar Yulius, di ruang Bulaksumur UC UGM, Senin (10/10).
Yulius menyebut era disrupsi yang ditandai dengan dinamika perkembangan globalisasi, digital dan pandemi Covid-19, serta yang terbaru adanya ancaman krisis global 2023 menjadi tantangan dalam pembangunan keuangan berkelanjutan. Situasi tersebut, menurutnya, menjadi peluang sekaligus tantangan dalam pembangunan berkelanjutan.
Adapun tantangan yang dihadapi antara lain masih terbatasnya tingkat pemahaman dan partisipasi lembaga pembiayaan dalam usaha berkelanjutan karena dianggap menimbulkan biaya tambahan. Orientasi usaha bagi pelaku UMKM masih bertumpu pada keuntungan jangka pendek.
“Saya kira perlu literasi bagi para pelaku UMKM terkait bisnis yang menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Belum ada standarisasi kategori hijau yang menjadi acuan bersama untuk penilaian penerapan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola, untuk itu energi dan kolaborasi tentu akan menjadi perhatian dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan di tanah air,” katanya.
Yulius menandaskan paradigma bisnis as usual dan sustainable development perlu diglorifikasi sebagai kebutuhan bisnis di masa mendatang. Artinya, adanya risiko lingkungan hidup, sosial, tata kelola yang semakin besar menjadi tantangan bagi ekosistem keuangan untuk menciptakan peluang usaha baru yang inovatif dan mendorong ekonomi yang berkelanjutan.
“Bersama-sama kita perlu meyakinkan pelaku usaha, koperasi dan UMKM, kemudian masyarakat dan pemerintah bahwa upaya untuk menghasilkan profit tidak lepas dari harus mempertimbangkan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, serta dampak sosial yang terjadi,” tandasnya.
Ah Maftuchan, eksekutif direktur The Prakarsa & Koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia, berharap kalangan kampus atau akademisi mau berkolaborasi mempromosikan sustainable finance di Indonesia. Menurutnya iklim krisis sedang berlangsung saat ini karenanya perlu memperkuat komitmen untuk menjalankan bisnis yang lebih berkelanjutan.
“Kondisi saat ini adanya potensi krisis yang akan dihadapi tahun depan bukan sesuatu yang mengada-ada. Kami punya keyakinan bahwa pengembangan bisnis yang berkelanjutan, sistem keuangan yang berkelanjutan bisa juga menghasilkan. Sustainable finance approach tetep bisa menghasilkan dan meningkatkan lingkungan yang lebih baik,” ungkapnya.
Arie Sudjito, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, menyatakan tata kelola keuangan berkelanjutan adalah tata kelola yang sehat. Tata kelola yang memiliki kemampuan untuk mandiri sekaligus akuntabel.
Menurutnya, tata kelola keuangan yang berkelanjutan bukan hanya menjawab problem teknis kesiapan sumber daya tetapi lebih dari itu sebuah tatakelola yang bermakna. Tatakelola bermakna artinya mampu merespon tantangan yang dihadapi kedepan.
“Itu penting buat kita agar dunia yang dibaca sebagai sebuah tantangan yang gelap itu harus dijawab bagaimana kita sejak awal memperkuat kapasitas tatakelola yang bisa responsif”, paparnya saat membuka seminar.
Penulis : Agung Nugroho