Berkaitan dengan hasil tes seleksi masuk perguruan tinggi, konsekuensi dari kesalahan dalam pengambilan keputusan akibat informasi skor tes yang tidak akurat berdampak sosial buruk bagi yang bersangkutan. Hal itu dapat mengancam harga diri (self-esteem), bahkan kehilangan masa depan. Inilah yang disebut oleh para ahli sebagai high stake exams, yang hasil ukurnya menjadi landasan pengambilan keputusan yang dapat mengubah kehidupan.
“Karena itulah, evaluasi terhadap kualitas tes yang digunakan dalam berbagai tes seleksi masuk perguruan tinggi mestinya tidak lagi terbatas pada analisis item serta estimasi validitas prediktif saja, melainkan sudah harus dipertajam pada aspek penggunaan skor dalam pengambilan keputusan seleksi yang didasari oleh interpretasi skor yang fair,” kata Prof. Dr. Saifuddin Azwar, M.A., Kamis (20/5), di Balai Senat UGM saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi UGM.
Dengan mengucapkan pidato berjudul “Keputusan Seleksi dalam High Stake Exams: Wacana Psikometris”, Saifuddin menjelaskan fairness dalam interpretasi skor tes tidak dapat diharapkan dari suatu tes yang berfungsi bias. Suatu tes dianggap bias bila dua kelompok subjek, misalnya pria dan wanita yang memiliki tingkat kemampuan setara, cenderung memperoleh skor yang berbeda.
Adanya bias tes (test bias) merupakan persoalan alat ukur atau pengukuran (measurement problem) yang berakibat subjek kelompok tertentu memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh skor tinggi dibandingkan dengan subjek dari kelompok lain, yang sebetulnya memiliki kemampuan setara. “Bias ini terjadi karena adanya error sistematik yang berasal dari karakteristik subjek yang tidak relevan dengan tujuan tes, namun ikut mempengaruhi skor,” jelas peraih gelar master statistika dan pengukuran University of Iowa tahun 1982 ini.
Dikatakannya bahwa sistem seleksi masuk perguruan tinggi di Indonesia masih terus dalam pengembangan. Studi tentang validitas ujian masuk perguruan tinggi (UMPT) pada umumnya masih terbatas pada permasalahan validitas prediktif dan sama sekali belum menyentuh aspek yang lebih dalam, seperti permasalahan validitas diferensial dan bias prediksi. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk mengangkat wacana kesetaraan peluang untuk memasuki perguruan tinggi bagi calon yang memiliki potensi yang sama. “Pada lingkup akademis, sudah waktunya bagi peneliti untuk memperluas objek studi mereka sehingga mencakup ranah kajian bias tes,” ujar pria kelahiran Pagaralam, 3 Juli 1950 ini.
Pertanyaan mengenai fairness, terutama terkait dengan konteks jenis kelamin, menurut suami Anggreswari A. Dhamayanti, S.Psi., M.Si. ini, tentu relevan untuk diangkat ke permukaan. Hingga saat ini, memang belum terdengar adanya “protes” dari calon yang tidak diterima, yang mempertanyakan tes dalam seleksi masuk perguruan tinggi apakah sama akuratnya bagi pria dan wanita.
Sejauh ini, kebanyakan dari meraka yang gagal masuk mengatribusikan kegagalannya pada kekalahan bersaing disebabkan calon lain lebih pintar atau karena program studi tertentu lebih cocok bagi jenis kelamin tertentu atau memang merasa belum beruntung. “Belum muncul keinginan untuk mengetahui apakah ada faktor lain pada tes yang mungkin secara sistematis merugikan, bahkan menguntungkan bagi sebagian mereka,” tutur ayah lima anak ini.
Di bagian akhir pidatonya, dikatakan oleh peraih gelar doktor psikometri UGM tahun 2008 ini, dengan berkaca pada perkembangan sistem tes dan evaluasinya di negara-negara maju, sudah saatnya penelitian dan evaluasi kualitas tes yang digunakan dalam pengambilan keputusan seleksi dalam high stake exams, seperti ujian masuk perguruan tinggi di Indonesia, perlu diperluas lebih dari sekadar evaluasi terhadap validitas prediktif saja.
Oleh karena itu, pengambil keputusan di perguruan tinggi dan pihak-pihak pemangku kepentingan perlu mengembangkan perangkat tes tulis dalam seleksi masuk perguruan tinggi. “Perlu memperluas kajian mengenai sifat prediktif diferensial tes tulis dalam pengambilan kebijakan seleksi mahasiswa baru, khususnya menyangkut kebijakan bagi calon mahasiswa wanita dan calon mahasiswa pria,” pungkas Dekan Fakultas Psikologi UGM periode 2000-2004 ini. (Humas UGM/ Agung)