Pusat Studi Keamanaan dan Perdamaian mengadakan Seminar Internasional dengan mengangkat tema Gen Z As the Agents of Religious Moderation di Ruang Bulaksumur Universitas Club UGM, Jumat (28/10). Penyelenggaraan seminar yang bertepatan peringatan Hari Sumpah Pemuda merupakan bagian dari rangkaian acara moderasi beragama yang diprogramkan oleh Kementrian Agama, Republik Indonesia.
Tercatat 141 peserta mengikuti kegiatan ini. Mereka tersebar dari berbagai latar belakang institusi pendidikan dan agama atau kepercayaan. Seminar menghadirkan empat orang sebagai narasumber yaitu Prof. Dr. H. Amien Suyitno (Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI), Alissa Wahid (Task Force Expert of Religious Moderation for Ministry of Religious Affairs), Mark Woodward (Arizona State University), dan Achmad Munjid (Director of Center for Security and Peace Studies Universitas Gadjah Mada).
Terkait kegiatan ini, Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian dan Kementrian Agama memfokuskan isu moderasi dan peran anak muda, sebab keberagaman agama tidak hanya menjadi kerja bagi institusi agama tetapi juga segenap masyarakat termasuk generasi Z. Karenanya sepanjang seminar berlangsung para anak muda diajak mempelajari mengenai konteks moderasi agama sebagai sebuah gerakan kemasyarakatan atau kolektif.
Menurut Achmad Munjid seminar ini begitu penting, sebab keberagaman agama adalah sebuah fakta sosial yang perlu ditanggapi dengan lebih positif. Melalui moderasi agama, masyarakat diajak untuk melihat keberagaman sebagai konsekuensi dari perkembangan ide demokrasi dan hak asasi.
“Sehingga moderasi beragama adalah ruang pertemuan dan dialog untuk memahami dan menghargai perbedaan,” katanya.
Jalaluddin, Mahasiswa S3 Program Kajian Budaya dan Media UGM, menilai kegiatan ini menyadarkan banyak pihak terutama anak muda yang masih kurang pemahamannya soal moderasi beragama. Kalaupun toh mereka memahami, moderasi beragama yang mereka pahami masih berkutat dengan keimanan atau ketakwaan.
“Padahal di luar sana, masih banyak simpang siur tentang moderasi beragama. Orang pun menganggap bahwa moderasi itu hanya sebatas ketakwaan pribadi dan seolah-olah kita diperintahkan untuk memoderatkan ketakwaan,” terangnya.
Padahal, lanjutnya moderasi beragama bukan hanya persoalan keimanan atau ketakwaan tetapi bagaimana tuntutan sikap terhadap penganut agama lain. Lahirnya moderasi beragama sesungguhnya lebih untuk memberi ruang, memfasilitasi kelompok-kelompok minoritas seperti agama-agama penghayat dan lain-lain.
“Kemarin-kemarin kan banyak kasus seperti persekusi, diskriminasi. Sebenarnya mantan Menteri Agama, Pak Lukman Hakim, telah menggagas ini menyangkut moderasi beragama. Jadi kesan saya dengan adanya moderasi beragama ini semakin menempatkan perilaku-perilaku moderat, terutama pada kalangan remaja yang selama ini kalau kita lihat dari berbagai macam survei justru mereka seperti korban dari perilaku-perilaku intoleran di masyarakat,” ucapnya.
Jalaluddin berharap dengan adanya acara seminar yang bertepatan pada Hari Sumpah Pemuda ini generasi Z bisa lebih berperilaku inklusif (terbuka) kepada semua agama. Baik itu agama mayoritas Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, terutama terhadap kelompok-kelompok yang minoritas.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Ilustrasi tokoh lintas agama