Hasil riset CfDS UGM bersama Fairwork pada dua tahun terakhir menunjukkan masih rendahnya kelayakan kerja yang diwujudkan oleh platform yang beroperasi di Indonesia. Beberapa aspek tersebut, terutama terkait problem aspek upah yang layak, jaminan kesehatan, dan status hubungan kemitraan yang seringkali menimbulkan polemik dalam relasi kerja antara pekerja platform dan perusahaan.
Treviliana Eka Putri selaku Ketua Peneliti pada riset Fairwork 2021 dan 2022 mengatakan pekerjaan Gig beraneka ragam. Hanya saja untuk kajian kali ini ia menyampaikan hasil survei membatasi pekerjaan Gig driver karena profesi yang bisa dinikmati para konsumer secara langsung.
Terkait pendapatan yang layak, ia pun menyampaikan tidak ada platform yang dapat membuktikan bahwa mereka telah membayar upah yang layak kepada semua pekerjaan dengan memperhitungkan jam kerja dan biaya-biaya tambahan lain terkait pekerjaan mereka. Sedangkan terkait kondisi yang layak hanya empat platform yang memiliki bukti melindungi pekerjaannya dari risiko kerja dengan memberikan asuransi kecelakaan, saluran biaya bantuan darurat, akses ke asuransi kesehatan dan inisiatif kesejahteraan lainnya.
“Terkait kontrak yang layak, sebagian besar platform memiliki syarat dan ketentuan yang jelas dan mudah diakses oleh pekerjaannya. Namun, tidak ada platform yang dapat membuktikan bahwa syarat dan ketentuan tersebut membagi risiko dan kewajiban antara pekerja dan platform secara adil,” ujarnya di CfDS Fisipol UGM, Selasa sore (8/11) dalam Forum Group Discussion bertajuk “Diskusi Bersama Fairwork Indonesia: Kolaborasi untuk Dukung Kesejahteraan Pekerja Gig”.
Untuk mengurai permasalahan tersebut, katanya, ada langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah, platform, pekerja Gig maupun orang yang tidak terlibat secara langsung, namun menikmati servis dari para pekerja Gig. Diantaranya melalui regulasi yang secara terus menerus menjadi perbincangan di banyak negara.
Forum Group Discussion bertajuk “Diskusi Bersama Fairwork Indonesia: Kolaborasi untuk Dukung Kesejahteraan Pekerja Gig” diselenggarakan Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada bersama Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Fairwork Foundation dengan mengundang perwakilan pemerintah, platform, dan asosiasi pekerja. Diskusi untuk mencari jalan tengah atas permasalahan para pekerja Gig ini menghadirkan pembicara Yuli Adiratna, S.H., M.Hum, Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan, Ditjen Binwasnaker dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan RI, Eddy Gunawan, ATD., M.Eng.SC., Kepala Pusat Kebijakan Lalu Lintas, Angkutan, dan Transportasi Perkotaan, Kementerian Perhubungan RI, Dr. Ir. Ismail, MT, Direktur Jenderal SDPPI Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dan Treviliana Eka Putri, Peneliti Firework Indonesia.
Yuli Adiratna mengakui adanya dampak positif dari Gig Economy yaitu kemudahan sesorang dalam mengambil banyak proyek dalam suatu waktu. 80 persen pekerjaan yang ada sekarang ini dilakukan secara remote atau mobile.
Sejumlah pekerjaan yang bisa dijumpai dalam Gig Economy adalah content terdiri content writer, copy writer, UI/UX copy writer, social media specialist. Akuntan, Asisten Akuntan, desain grafis, desain logo, illustratorm, game engineer, UI/UX Designer, Devops Engineer, network analysist, security engineer dan lain-lain.
Menurutnya, diperlukan langkah-langkah strategis dalam melindungi pekerja Gig diantaranya dengan memastikan pekerja Gig Economy diberikan perlindungan sebagai pekerja/ buruh. Perlindungan tersebut dengan menggunakan instrumen hukum yang ada.
“Dengan UU 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU II/220 tentang Cipta Kerja, UU 40/ 2004 tentang SJSN, UU 24/ 2011 tentang BPJS. Selain itu juga mendorong pekerja yang terlibat dalam Gig Economy mendapatkan Jaminan Sosial setidaknya mendapat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM),” ucapnya.
Nur Huda, peneliti dari CIPG, menambahkan Gig ekonomi tidak hanya terbatas pada pekerjaan seperti driver atau kurir saja. Sejarah Gig economi cukup panjang, dan pekerjaan tersebut dicirikan dengan beberapa karakteristik diantaranya pekerjaan bersifat independen, fleksibel, dan berbasis project jangka pendek.
Dengan definisi ini, katanya, maka pekerjaan seperti konsultan, kontraktor atau seniman serta musisi sebenarnya bisa termasuk dalam Gig ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir pasca krisis 2008, jenis pekerjaan ini semakin populer tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia.
“Ini semua salah satunya tidak terlepas dari perkembangan teknologi digital dan banyaknya platform-platform digital yang kemudian membuka peluang bagi pekerjaan yang sifatnya seperti ini,” ujar Nur Huda.
Di Indonesia platform digital-platform digital dan para pekerja Gig inipun pada akhirnya sebagai sesuatu yang normal dan tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan trasportasi, pengiriman barang, juga menyangkut bahan makanan dan lain-lain.
Kenapa isu Gig menjadi penting menurut Nur Huda karena jumlah data terakhir terkait pekerja Gig economy terus meningkat. Jumlah pekerja ini di tahun 2023 diperkirakan akan mencapai lebih dari 78 juta orang di seluruh dunia dengan nilai ekonomi mencapai 298 milyar US Dollar.
“Jumlah ini jauh lebih tinggi kalau dibandingkan dengan sebelum pandemi yang mencapai hanya sekitar 43 juta orang pekerja Gig. Di Indonesia sendiri meski belum ada data konkret secara keseluruhan tetapi setidaknya di tahun 2020 lalu disampaikan ada sekitar 4 juta driver menekuni profesi ini,”katanya.
Terakhir di tahun 2021 survei Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memperlihatkan untuk satu platform Gojek setidaknya ada 2,6 juta mitra driver. Dari data yang ada secara keseluruhan dari Sistem Gojek sendiri berhasil menyumbang ke ekonomi negara itu sekitar 249 triliun rupiah.
“Jumlah ini tentu sangat besar bahkan mencapai 1,6 persen dari PDB Indonesia. Di sisi lain data survei Balitbang Kementerian Perhubungan yang menyebutkan bahwa lebih dari setengah para pekerja Gig ini menggantungkan pekerjaannya dari pekerjaan Gig ini. Mereka menjadikan pekerjaan Gig ini sebagai sumber pendapatan mereka yang utama,” katanya.
Oleh karena itu, dengan data yang ada maka dapat disimpulkan isu Gig akan terus berkembang dengan jumlah yang akan semakin meningkat dan menyangkut hajat hidup jutaan orang di Indonesia. Oleh karena itu, melalui diskusi kali ini, Nur Huda berharap bisa memfasilitasi kolaborasi banyak pihak pemerintah, platform, asosiasi, dan organisasi-organisasi yang konsern isu ini untuk bersama bisa bertukar pendapat menyelesaikan problem para pekerja Gig.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Berita Harian