Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud Ristek RI, (Dirjen Dikti), Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D., mengatakan terjadi tren penurunan jumlah publikasi di seluruh dunia semasa pandemi. Begitupun di Indonesia. Namun begitu, penurun publikasi RI justru terjadi signifikan meski tahun lalu jumlah publikasi mencapai 50 ribu publikasi dalam setahun. “Memang di banyak negara terjadi penurunan kualitas publikasi, namun tidak sesignifikan kita. Publikasi kita dalam 10 tahun mencapai 150 ribu publikasi, mirip dengan Rusia. Trennya kita makin menurun. Rusia tren makin naik,” kata Nizam saat menjadi pembicara kunci dalam pertemuan Majelis Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (MSA PTN-BH) yang bertajuk Rekognisi Internasional Perguruan Tinggi Indonesia melalui Peningkatan Ranking QS, sabtu (12/11) di Grha Sabha Pramana UGM.
Minimnya jumlah publikasi internasional ini menurut Nizam dikarenakan minimnya kolaborasi publikasi antar perguruan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu, jumlah sitasi juga mengalami penurunan. Oleh karena itu, antar sesama perguruan tinggi negeri maupun swasta menurutnya perlu membangun kolaborasi untuk riset dan publikasi. “Jangan sampai publikasi kita rendah di ASEAN karena tidak banyak kolaborasi publikasi,” ujarnya.
Nizam juga membandingkan publikasi di negara Saudi Arabia yang naik signifikan karena banyak melakukan kolaborasi riset internasional.
“Saudi Arabia banyak menerima ahli dari luar negeri dan kita masih paling bawah dalam hal kolaborasi dan publikasi. Yang perlu kita lakukan kualitas publikasi dengan meningkatkan jumlah jurnal internasional,” ujarnya
Jumlah jurnal dari lebih 4.500 perguruan tinggi ada sekitar 16 ribu jurnal, namun dari semua itu hanya 118 jurnal saja yang terindeks scopus. “Paling tidak 500 jurnal masuk dalam scopus,” imbuhnya.
Untuk 21 perguruan tinggi yang sudah berstatus PTN-BH, Nizam mendorong bertambahnya jumlah jurnal berstandar internasional, “Mohon seluruh PTN-BH untuk masuk top jurnal berbahasa Inggris. Ini sebagai kunci kita membawa publikasi ke panggung dunia,” katanya.
Sementara Kepala Kantor Jaminan Mutu UGM, Prof Indra Wijaya Kusuma, mengatakan pengelolaan reputasi akademik di sebuah perguruan tinggi menjadi salah satu indikator penilaian dari lembaga pemeringkatan internasional. “Perangkingan bukanlah tujuan tapi kualitas kita terlihat dalam perangkingan itu,” jelasnya.
Ia menceritakan, UGM sejak 2009 tidak melayani permintaan data dari lembaga QS sehingga peringkat UGM melorot setiap ada hasil pemeringkatan yang dirilis oleh lembaga ini. Namun, pada tahun 2015 pemerintah melalui Kemendikbud Ristek meminta UGM bersama 11 universitas lain untuk menjadi perguruan tinggi berkelas dunia dengan menargetkan masuk daftar ranking 500 besar dunia versi QS WUR. “Sejak 2009 kami tidak melayani data dari mereka sehingga ranking kita terus menurun sampai posisi 555,” katanya.
Melalui program World Class University (WCU) dari Kemendikbud selama tujuh tahun terakhir, peringkat UGM bisa naik ke 231 dunia dalam versi QS World University Ranking pada tahun 2022. Di Indonesia, UGM menduduki peringkat pertama lalu disusul ITB dan UI.
Menurut Indra, peningkatan reputasi akademik di kampus UGM dilakukan dengan menggalakkan berbagai penelitian nasional dan internasional. Disamping juga mendorong jumlah sitasi per fakultas, menambah rasio dosen dan mahasiswa, kolaborasi riset dan menambah jumlah dosen asing.
Ketua Tim Task Force WCU ITB, Dr. Yosi A Hidayat, mengatakan penilaian reputasi akademik dari lembaga QS diukur dari hasil survei mitra akademik dan mitra pengguna lulusan dari masing-masing kampus. Bahkan, bobot penilaiannya pun mencapai 30-50 persen. “Setiap tahunnya kami menambah 400-500 mitra akademik dan pengguna lulusan baru untuk mendukung survei kita,” katanya.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh ITB, kata Yosi, dari 2.583 mitra ITB, sekitar 56 persen berasal dari mitra dalam negeri dan 43,8 persen dari luar negeri yang sebagian besar berasal dari Jepang dan Malaysia. Yosi berpendapat minimnya kolaborasi mitra akademik internasional inilah yang menjadikan perguruan tinggi di Indonesia selalu berada jauh peringkatnya dibandingkan dengan Universitas Malaya, Malaysia dan National University Singapore (NUS). Seperti diketahui, NUS berada di peringkat 11 dunia dan posisi pertama di Asia. Sedangkan universitas Malaya masuk peringkat 65 dunia pada rilis QS World University Ranking yang dirilis pada Juni lalu.
Ketua Tim Kerja WCU Universitas Indonesia (UI), Prof Djoko Triyono, mengatakan UI bersama UGM dan ITB ditargetkan masuk dalam daftar 200 besar dunia setelah sebelumnya berhasil memasuki 500 besar dunia. Untuk mendorong agar peringkat UI semakin naik, kata Djoko, UI melakukan berbagai program internasionalisasi di berbagai bidang. Sebab, beberapa indikator yang penilaian QS-nya mengalami penurunan di UI adalah soal reputasi akademik, rasio dosen dan sitasi per fakultas. “Reputasi sangat bergantung pada dosen. Jangan lagi dosen itu saja yang publish dan kita berusaha semakin banyak dosen berkontribusi dalam sitasi melalui dana WCU,” katanya.
Selain itu, UI juga menambah penyelenggaraan program joint atau double degree di jenjang S2 dan S3, internship, sandwich program, dan pemberian beasiswa untuk mahasiswa asing di jenjang pascasarjana. “Saya kira sesama PTN-BH, kita perlu bersinergi untuk meningkatkan kualitas dan bersinergi untuk meningkatkan reputasi akademik,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson