Dalam momentum Hari Kesehatan Nasional 2022, Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada bersama World Mosquito Program Yogyakarta dan Yayasan Tahija untuk pertama kalinya menyelenggarakan Gadjah Mada International Conference on Tropical Medicine (GAMA-ICTM) 2022. Mengusung tema “Tantangan Global dalam Menghadapi Penyakit Menular”, GAMA-ICTM digelar selama 3 hari, 15-17 November 2022 dengan membahas cukup banyak soal penyakit menular mulai dari kesiapsiagaan dan pemulihan dari pandemik, epidemiologi dan surveillance, COVID-19, Tuberculosis, Malaria, HIV/AIDS, Neglected Tropical Diseases (NTDs), Dengue, One Health, dan Travel Medicine.
dr. Eggi Arguni, Sp.A.(K), Ph.D, ketua umum panitia GAMA-ICTM 2022, yang juga merupakan Diagnostic Team Leader WMP Yogyakarta serta dosen FK-KMK UGM, menyampaikan meskipun penyakit menular telah menurun drastis sejak beberapa dekade yang lalu, tetapi sebagian besar negara dengan pendapatan rendah dan menengah termasuk Indonesia masih mengalami beban kesehatan dari penyakit menular ini.
Malaria, tuberkulosis, dan HIV/AIDS, dinilainya masih menjadi penyakit menular penyebab kematian di Indonesia. Sedangkan dari tahun ke tahun, kasus infeksi dengue masih terus dilaporkan sebagai salah satu penyakit yang ditularkan nyamuk.
“Karenanya dalam konferensi ini kami mengundang para ilmuwan, profesional di bidang kesehatan, dan para ahli dari disiplin ilmu yang berbeda-beda untuk berbagi mengenai perkembangan terbaru dari penyakit menular. Para peserta diharapkan bisa saling berbagi mengenai perkembangan terbaru dari penelitian, juga pendekatan dan teknologi dalam pengendalian penyakit menular,” ujar Eggi Arguni, di FKKMK UGM, Rabu (16/11).
Terkait pengendalian dengue di Indonesia, Eggi Arguni menyatakan bahwa Wolbachia di Indonesia hadir dari penelitian terobosan sebagai strategi pelengkap pengendalian dengue. WMP Yogyakarta bekerja sama dengan Monash University dan Universitas Gadjah Mada dengan dukungan dari Yayasan Tahija sejak tahun 2011 telah mengembangkan Wolbachia untuk pengendalian dengue.
Hasil dari penelitian memperlihatkan Wolbachia efektif menurunkan 77 persen kasus dengue dan 86 persen tingkat rawat inap. Karena itu, seusai fase penelitian, tim menyebarkan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di area lainnya, di Sleman dan Bantul pada 2021-2022 dengan harapan teknologi Wolbachia bisa diimplementasikan di wilayah Indonesia lainnya sehingga bisa melengkapi upaya pengendalian dengue nasional.
“Konferensi membahas tema yang cukup beragam, mulai dari kesiapsiagaan dan pemulihan dari pandemik, epidemiologi dan surveillance, COVID-19, Tuberculosis, Malaria, HIV/AIDS, Neglected Tropical Diseases (NTDs), Dengue, One Health, dan Travel Medicine. Harapannya, dari konferensi ini bukan hanya mendapatkan informasi dan pengetahuan baru, namun bisa menjadi rekomendasi bagi pengambil kebijakan,” ungkap Eggi Arguni.
Duane J. Gubler, Professor of Emerging Infectious Diseases, Duke-NUS Medical School, dalam kesempatan ini menyoroti epidemi dengue yang muncul sejak tahun 1990. Menurutnya, dengue hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama, dengan lebih dari 3 juta kasus dengue terjadi setiap tahunnya.
“Kenaikan kasus dengue ini disebabkan oleh tren global dalam pertumbuhan populasi dan ekonomi, urbanisasi dan globalisasi, transportasi modern, yang mengarah pada peningkatan pergerakan manusia, hewan, komoditas, dan juga peningkatan pergerakan virus,” katanya.
Dalam pengendalian dengue ini, menurutnya sangat penting menekankan integrasi dan sinergi untuk memberantas dengue. Mulai dari pengendalian vektor, vaksinasi, hingga peningkatan surveillance dengue.
“Karenanya perlu juga manajemen klinis dan pelibatan masyarakat untuk mencapai target program pencegahan dan pengendalian dengue,” terang Duane J. Gubler.
Dirinya menandaskan tidak ada pendekatan tunggal yang cocok untuk semua wilayah sehingga program pengendalian dengue perlu diadaptasikan dengan kondisi lokal. Semua pihak perlu memobilisasi sumber daya yang ada. Untuk itu, penting menyadari bahwa ini bukan hanya masalah kesehatan publik, tetapi juga permasalahan ekonomi bagi sebagian besar negara-negara.
“Kita perlu menggunakan dana untuk membangun kembali kapasitas kesehatan publik, juga mendanai implementasi program dan mendanai penelitian,” papar Duane. J. Gubler.
Penulis : Agung Nugroho