Gerakan mahasiswa selalu muncul setiap zamannya. Gerakan mahasiswa turun ke jalan saat menyaksikan terjadinya ketidakadilan di masyarakat atas kebijakan dan perlakuan sewenang-wenang yang dibuat oleh negara. Sebagai agen perubahan dan calon pemimpin mahasiswa, di tengah era disrupsi dan kebebasan mendapatkan akses informasi, gerakan mahasiswa saat ini dihadapkan pada tantangan untuk mampu menemukan cara baru dalam menyampaikan aspirasi politiknya. Hal itu mengemuka dalam Diskusi Buku Aldera Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 yang berlangsung di ruang Auditorium Mandiri Fisipol UGM, Jumat (18/11), Hadir sebagai pembicara diantaranya Sosiolog UGM, Dr. Arie Sudjito, Penulis Buku dan mantan aktivis Aldera Teddy Wibisana, dan mantan aktivis 98, Nezar Patria.
Sosiolog UGM, Dr. Arie Sudjito, mengatakan gerakan mahasiswa di era 90-an berbeda dengan kemunculan gerakan mahasiswa di era demokratisasi yang terjadi sekarang ini. Menurutnya, aktivis mahasiswa sekarang ini dihadapkan pada kondisi untuk memikirkan banyak hal dan ragam pilihan dalam menyampaikan ekspresi dan segala aktivitasnya. Sebab, saat ini liberalisasi politik sudah berjalan dengan baik, kebebasan pers, desentralisasi, dan demiliterisasi.
Berbeda di era orde baru, kata Arie, gerakan mahasiswa muncul karena proses demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tindakan represif negara cukup keras terhadap gerakan mahasiswa di kala itu. “Karenannya saat ini gerakan sosial mahasiswa tidak lagi identik memobilisasi massa secara fisik. Sekarang tersedia instrumen untuk mendistribusi informasi. Setiap sejarah punya cara sendiri,” katanya.
Tidak banyaknya aksi mahasiswa turun ke jalan, menurut Arie, bukan berarti para aktivis mahasiswa tidak sedang tidak berpolitik atau apolitis, namun mereka punya cara pandang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan ruang lintas generasi agar mahasiswa tidak mengalami gap soal sejarah gerakan mahasiswa di masa lalu. “Jangan sampai ada patahan membaca sejarah. Jangan sampai seorang aktivis menyampaikan mengatakan enak (kebebasan dan kesejahteraan) zaman orde baru. Padahal, banyak orang diculik dan diangkut. Upaya tindakan represif dari berbagai aspek terjadi, upaya penjinakan aktivis mahasiswa lewat Senat mahasiswa dan kebijakan NKK-BKK. Bagaimana dulu mahasiswa tidak berani (berorganisasi) di kampus, banyak keluar. Yang dipakai hanya cara bersiasat,” jelasnya.
Sementara Nezar Patria menilai berjalannya proses demokratisasi di Indonesia dari buah reformasi menjadikan partai politik sekarang ini terlihat lebih dominan. Bahkan, keberadaannya lebih kuat dibandingkan dengan peran lembaga non pemerintah (NGO) seperti di era tahun 90-an. “Kita bisa hitung sendiri, hanya NGO yang bergerak dalam gerakan HAM saja yang nampak sekarang ini, YLBHI dan Kontras. Dulu banyak sekali. Sekarang NGO banyak bergerak ke isu lingkungan,” katanya.
Teddy Wibisana berpesan seorang aktivis mahasiswa tidak boleh gentar dalam menyampaikan aspirasi dan pandangannya di sosial media sepanjang pandangannya ia anggap benar. Bahkan, jangan sampai takut menyampaikan pandangan atau kritik yang berisiko berhadapan dengan hukum. “Selalu yakin dengan apa yang diperjuangkan. Jika merasa benar, semua tidak akan menjadi masalah. Kegalakan di sosial media memang sering berisiko berhadapan di depan hukum. Jangan sampai langsung membuat kita kendor,” jelasnya.
Anggota BPK RI, Pius Lustrilanang, dalam sambutannya sebagai mantan aktivis 98 menyampaikan apresiasinya bahwa gerakan mahasiswa di dalam kampus saat ini tetap gigih membela dan memperjuangkan aspirasi rakyat. “Saya bersyukur masih ada BEM yang turun menolak Omnibus Law dan kenaikan harga BBM, kalian turun saat rakyat memanggil. Situasi saat ini berbeda, memahami politik sekarang ini sesuai pemahaman dan kreativitas kalian,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson