Pusat Studi Pancasila UGM menyelenggarakan Temu Ilmiah Pra Pengusulan Pancasila sebagai Memory of The World (MoW) UNESCO. Temu ilmiah digelar sebagai bagian awal dari beberapa agenda untuk mengajukan Pancasila sebagai Memory of The World.
Program Memory of The World (MoW) UNESCO merupakan salah satu program UNESCO berupa ingatan kolektif dunia yang didorong dari kesadaran akan keadaan pelestarian dan akses terhadap warisan dokumenter di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, Pusat Studi Pancasila UGM berharap gagasan otentik Pancasila falsafah bangsa yang mendunia tidak hanya akan menjadi memori kolektif bangsa tetapi juga kenangan dunia.
Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr. Rr. Siti Murtiningsih, mengatakan upaya untuk mengusulkan Pancasila sebagai “memory of the world” penting sekali untuk dilakukan setidaknya karena tiga alasan. Pertama, menjadikan Pancasila sebagai memori kolektif dunia karena Pancasila memang lahir di Indonesia dan dirumuskan sebagai dasar negara Indonesia.
Meski begitu, proses kelahiran Pancasila melalui proses intertekstual dengan ide-ide besar dunia. Ada ide teisme, humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme yang dijalin sedemikian rupa sehingga kelima ide besar dunia itu membentuk apa yang disebut Pancasila.
“Oleh karena itu, menurut saya, pengajuan Pancasila sebagai “memory of the world” ini juga perlu mengikutsertakan Risalah Sidang BPUPKI yang di dalamnya terdapat catatan bagaimana Pancasila dirumuskan. Pancasila adalah hasil dari proses intertekstual yang terjadi dalam sidang BPUPKI sehingga pengusulan Pancasila sebagai “memory of the world” tidak dapat mengabaikan Risalah BPUPKI,” ujar Dekan saat memberi pengantar temu ilmiah, di Auditorium Fakultas Filsafat UGM, Selasa (22/11).
Alasan kedua, menurut Dekan yang tak kalah penting adalah mengenalkan Pancasila sebagai tawaran paradigmatik untuk dunia. Sejak pertama kali dirumuskan, Pancasila memang didesain sebagai dasar negara Indonesia, meski begitu ia merupakan hasil dari proses intertekstual dengan ide-ide besar dunia, karenanya Pancasila layak untuk diperkenalkan kepada dunia sebagai sumbangan Indonesia.
Dalam konteks ini, Indonesia menjadi titik temu (melting pot) berbagai macam ide besar dunia. Dengan demikian, yang paling penting untuk dijadikan sebagai memori kolektif sebenarnya bukan Pancasila sebagai produk yang sudah jadi, melainkan bagaimana Pancasila lahir dari proses intertekstual, proses sintesis, atas ide-ide besar dunia.
“Ia bisa menjadi tawaran paradigmatik untuk dunia bagaimana kita seharusnya menerima dan meramu berbagai macam pandangan sehingga menjadi satu pandangan dunia yang konsisten dan koheren satu sama lain,” terangnya.
Alasan ketiga, kata Siti Murtiningsih, terkait mengawetkan memori kolektif tentang Pancasila. Pancasila sebagai sebuah produk yang sudah jadi mungkin sudah dihafal dengan sangat baik oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Rasanya sulit membayangkan muncul satu generasi yang sepenuhnya lupa akan sila-sila dalam Pancasila, sebab Pancasila kerap kali dibacakan di setiap upacara sekolah.
Meski sebagai sebuah proses sistesis, proses intertekstual, Pancasila dinilai masih belum menjelma sabagai memori kolektif masyarakat Indonesia. Karena itu, dengan mengusulkan Pancasila sebagai “memory of the world” diharapkan masyarakat punya ingatan kolektif bahwa Pancasila adalah hasil dari proses sintesis.
“Demikian tiga alasan mengapa pengusulan Pancasila sebagai “memory of the world” ini sangat penting dan perlu diapresiasi. Terima kasih untuk Pusat Studi Pancasila UGM yang sudah mengupayakan ini,” imbuhnya.
Dukungan Pancasila sebagai Memory of The World (MoW) UNESCO juga datang dari Prof. Dr. Sulistiowati, S.H., M.Hum, Ketua Senat UGM, saat membuka Temu Ilmiah. Menurutnya, sebagai falsafah bangsa Indonesia, Pancasila sesungguhnya dipelajari oleh para ilmuwan dan guru besar. Mereka memang sangat ingin mendalami falsafat bangsa Indonesia yang dinilainya bersifat universal.
“Soal Pancasila ini dapat ditemukan. Bahkan, dikembangkan di berbagai belahan dunia bahwa mereka juga mengapresiasi Pancasila yang mampu menyatukan bangsa Indonesia yang sangat beragam dengan banyak jumlah pulau, banyak jenis budaya, suku bangsa yang dapat bersatu,” katanya.
Agus Wahyudi, Ph.D selaku Kepala Pusat Studi Pancasila UGM menambahkan apresiasi lain yang turut mendukung langkah pencapaian Pancasila sebagai memori kolektif dunia adalah telah ditetapkannya 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila yang berdasar pada Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 Tahun 2016. Keppres tersebut memberi penjelasan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia harus diketahui asal usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu, dokumen sejarah pendukung lainnya seperti keberadaan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tidak hanya memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia, melainkan juga dunia internasional. Gagasan tersebut telah meriwayatkan bahwa cita-cita Pancasila sebagai Dasar Negara tidak semata untuk Indonesia, melainkan untuk peradaban dunia.
“Berawal dari tujuan kebangsaan tersebut juga, kedudukan Pancasila telah memberikan bukti otentik bahwa selain sebagai dasar negara juga telah berkontribusi terhadap terciptanya perdamaian dunia. Beberapa tokoh dan ilmuwan dari berbagai negara telah banyak memberikan apresiasi pada Pancasila. Pancasila sebagai bentuk ideal dari sebuah negara majemuk, seperti Indonesia sangat tepat menjadi bagian dalam memori kolektif dunia,” ungkapnya.
Penulis : Agung Nugroho