Membicarakan kerangka reformasi pendidikan tinggi, sistem pendidikan tinggi yang sehat ditandai dengan kualitas perguruan tinggi yang semakin bermutu dan relevan. Di samping itu, terbuka pula bagi kesetaraan akses dan meningkatnya partisipasi masyarakat. Dengan otonomi yang dimiliki, perguruan tinggi diharapkan mampu memperlihatkan akuntabilitas yang baik dan tanggung jawab sosial yang kuat.
Demikian dikatakan Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi, Ditjen Dikti, Prof. Ir. Nizam, Ph.D., dalam acara Seminar Akademik yang diselenggarakan oleh Senat Akademik UGM di Balai Senat, Selasa (25/5). Dituturkannya bahwa memposisi perguruan tinggi, peran perguruan tinggi hingga kini tetap sebagai moral force. Perguruan tinggi tetap berperan mengawal jati diri bangsa dan arah perubahan di tengah arus global. “Perguruan tinggi tetap sebagai kunci daya saing bangsa. Karenanya ia harus memiliki sumber daya manusia dan produk yang berkualitas,” terang Nizam.
Dalam makalah berjudul “Reposisi Perguruan Tinggi: Sebuah Sharing Pemikiran”, Nizam berharap muncul strategi bagi reformasi pendidikan tinggi. Hal itu diperlukan guna mengembangkan pendidikan tinggi dalam kerangka meningkatkan daya saing bangsa. “Karenanya perguruan tinggi harus meningkatkan kualitas dan relevansi lulusan serta hasil-hasil risetnya. Demikian pula meningkatkan pendanaan pemerintah dan partisipasi masyarakat,” tambahnya.
Terkait dengan otonomi dan desentralisasi, kepada perguruan tinggi semestinya dapat diberikan otonomi yang luas dengan meminta akuntabilitas publik lebih langsung. Hal itu tentu menuntut diversifikasi misi dan desentralisasi perencanaan dan pengelolaan serta mampu meningkatkan jejaring, kerja sama, juga resource sharing. “Di samping itu, perguruan tinggi juga harus melindungi masyarakat kurang mampu,” jelasnya.
Ditambahkan Nizam, strategi reformasi pendidikan tinggi ini dapat terwujud bila prasyarat kesehatan organisasi terpenuhi karena tata kelola organisasi yang baik merupakan prasyarat otonomi, akuntabilitas, dan peningkatan mutu serta relevansi. “Dengan begitu, maka perguruan tinggi akan tetap berperan menjadi moral force bangsa,” ujarnya.
Sementara itu, Rektor Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. mengatakan semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin menurun jiwa entrepreneur. Hal itu disebabkan dalam diri orang berpendidikan tinggi mulai tumbuh rasa gengsi. Oleh karena itu, ia berharap perguruan tinggi mampu melakukan reposisi. Perguruan tinggi diharapkan dapat merumuskan akar permasalahan yang sesungguhnya. “Karena masih terbuka ruang untuk perbaikan. Terinspirasi kisah Suroto, seorang tamatan SMP yang sukses menjadi tukang, dan Suyadi, tamatan SMP kelas II yang sukses sebagai pemborong, hal ini tentu bisa menjadi refleksi bagi pendidikan tinggi untuk merumuskan strategi yang tepat,” katanya. (Humas UGM/ Agung)