Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Konferensi Internasional tentang Filsafat Nusantara ke-10 yang bertajuk Peran Epistemologi Sosial dan Ontologi bagi Masa Depan Umat Manusia yang berlangsung di pada 24-25 November di ruang seminar Fakultas Filsafat UGM. Beberapa pembicara kunci yang hadir dalam konferensi internasional kali ini berasal dari berbagai universitas dalam dan luar negeri, beberapa diantaranya adalah Prof. Sheila Nair dari Northern Arizona University Amerika Serikat, Prof. Khin Khin Soe dari Myanmar, Prof. David Ludwig dari Wageningen University, Belanda dan Prof Jean Christophe Merle dari University of Vechta, Jerman.
Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum, mengatakan konferensi internasional tentang filsafat nusantara ini mengambil tema soal peran epistemologi sosial dan ontologi bagi masa depan umat manusia. “Tema ini kami angkat bertujuan untuk mengeksplorasi permasalahan tersebut. Kami ingin melihat sejauh mana analisis filosofis terutama ontologi dan epistemologi dapat berkontribusi dalam mewujudkan keadilan sosial,” kata Siti Murtiningsih, Jumat (25/11).
Kepada wartawan, Siti Murtiningsih mengatakan salah satu kunci sosial dalam masyarakat kita adalah prinsip pengakuan. Menurutnya pengakuan berbagai entitas sosial non-mainstream dapat dikenalkan dengan wacana publik dan dengan gerakan-gerakan tertentu, yang dilindungi undang-undang secara hukum. Misalnya untuk melindungi tanah adat dari ancaman korporasi, kita perlu mengakui bahwa masyarakat adat ini ada dan merupakan kelompok sosial yang nyata. “Kalau tidak, kita akan kehilangan alat untuk melindungi tanah rakyat,” ujarnya.
Namun begitu, untuk mengenali institusi sosial yang berbeda tidak selalu mudah. Kelompok sosial yang berbeda mungkin melihat satu sama lain dengan antagonisme dan struktur sosial saat ini mungkin tidak menganggap pengakuan sebagai sesuatu yang baik. Dalam kerangka itu, epistemologi sosial dan ontologi sangat penting. “Dengan memiliki jawaban yang solid di lapangan tersebut kita dapat mengkritisi status ontologis dan epistemis dari struktur sosial saat ini dan memberikan alasan mengapa kelompok-kelompok tertentu adalah nyata dan layak untuk eksis dengan hak asasi manusia sepenuhnya,” ujarnya.
Meski persoalan ini menurutnya terbilang unik dan rumit, tidak hanya membutuhkan jawaban interdisipliner, tetapi juga sifat entitas sosial yang interaktif dan ideologis. Tidak hanya sampai di situ, kata Siti Murtiningsih, masyarakat modern juga menghadapi masalah status ontologis dan epistemik masyarakat digital. Karenanya jawaban atas hak atas perlindungan di dunia digital dan sejauh mana hal itu harus diberikan juga sarat dengan pertanyaan tentang hakikat lembaga sosial dan hubungannya dengan individu yang termasuk dalam ranah epistemologi dan ontologi sosial.
Penulis: Gusti Grehenson