Telah sepekan lebih gempa bumi melanda Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Tepat pada hari Senin (21/11) pukul 13:21;10, gempa dengan magnitudo (M) 5,6 dengan kedalaman 10 km barat daya Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, telah menghancurkan pemukiman penduduk.
Tidak hanya menghancurkan bangunan, akibat bencana gempa bumi tercatat hingga Sabtu (26/11) sebanyak 318 orang meninggal dunia. Kantor Berita Antara menyebut korban jiwa hilang sebanyak 14 korban jiwa. Sementara korban yang mengalami luka sebanyak 7.729 orang yang terdiri dari 595 mengalami luka berat dan 7.134 mengalami luka ringan dan korban luka berat yang dirawat di rumah sakit sebanyak 108 orang.
Catatan lain penyintas gempa yang masih mengungsi sebanyak 73.693 jiwa. Kerugian materiil akibat gempa yakni 58.049 rumah rusak dengan rincian 25.186 rumah mengalami rusak berat, rusak sedang 12.496, dan rumah yang mengalami rusak ringan 20.367 rumah. Sedangkan infrastruktur yang rusak diantaranya 368 sekolah, 144 tempat ibadah, 14 fasilitas kesehatan, dan 16 gedung atau perkantoran, dan secara keseluruhan, sebanyak 16 kecamatan dan 146 desa terdampak akibat gempa bumi ini.
Terkait kejadian gempa ini, Tim Peneliti Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol (SSTK) di Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada yang dipimpin Prof. Ir. Sunarno, M.Eng, Ph.D., IPU sebenarnya telah berhasil mengembangkan penelitian mengenai sistem peringatan dini (Early Warning System) gempa bumi sejak tahun 2013. Sistem EWS tersebut didasarkan pada pengukuran konsentrasi gas radon dan groundwater level 1-3.
“Hingga bulan November 2022, tim peneliti telah memiliki tujuh stasiun telemonitoring yang berada di Provinsi Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur,” ujar Sunarno, di Fakultas Teknik UGM, Senin (28/11).
Sunarno menjelaskan tim peneliti pada akhir tahun 2021 berhasil memprediksi 1-4 hari sebelum terjadinya gempa bumi dengan Magnitudo lebih dari M4.5 di area prediksi dari Aceh hingga Nusa Tenggara Timur (lempeng Samudera Indo-Australia). Prediksi dibangun berdasarkan fluktuasi precursor, konsentrasi gas radon dan groundwater level 4-5.
“Data pengukuran konsentrasi gas radon dilakukan mulai tanggal 1 November 2022 hingga tanggal 22 November 2022 di stasiun telemonitoring konsentrasi gas radon Daerah Istimewa Yogyakarta,” katanya.
Lebih lanjut Sunarno menjelaskan konsentrasi gas radon mengalami kenaikan hingga lebih dari sembilan kali lipat sebelum kejadian gempa bumi yang terjadi di Bengkulu M6.8 pada tanggal 18 November 2022 dan di Cianjur M5.6 pada tanggal 21 November 2022. Berdasarkan algoritma prediksi waktu terjadinya gempa bumi yang diintegrasikan dengan pesan automatis melalui aplikasi Telegram terdapat peringatan pada sistem peringatan dini gempa bumi yang telah dirancang oleh tim peneliti
“Ketika sistem mengirimkan status ‘waspada’, maka prediksi gempa bumi 1-4 hari ke depan akan terjadi di daerah antara Aceh hingga Nusa Tenggara Timur dengan magnitude lebih dari M4.5,” ungkapnya.
Berdasarkan status “waspada” pada tanggal 18 November 2022 tersebut, Sunarno lebih detail menjelaskan dalam 1-4 hari ke depan akan terjadi gempa dengan magnitudo lebih dari M4.5. Hanya saja, tim peneliti EWS Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM tidak memiliki hak untuk mengumumkan hasil prediksi tersebut kepada publik.
“USGS (United State of Geological Survey) menyampaikan bahwa sistem peringatan gempa bumi yang ideal terdiri dari tanggal dan waktu, magnitudo, dan lokasi. Sistem peringatan dini gempa bumi yang dirancang oleh tim peneliti EWS Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM ini masih dalam pengembangan untuk mencapai sistem peringatan dini gempa bumi yang ideal yakni lebih spesifik pada waktu, magnitudo, dan lokasi gempa,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho