Para pakar kesehatan mengelompokkan gangguan kesehatan sebagai dampak pemanasan global dalam tiga kategori, yakni kategori penyakit menular, penyakit pernapasan dan penyakit mental yang dipicu akibat terjadinya bencana alam maupun non-alam. Tantangan kesehatan masa depan perlu diantisipasi seiring terjadinya perubahan iklim di banyak tempat secara global.
Kecederungan krisis kesehatan semakin terjadi baik dalam bentuk pandemi yang sulit sekali untuk dicegah, hingga dalam bentuk ancaman-ancaman lain, seperti climate change atau perubahan iklim yang berdampak pada banyak hal. Oleh karena itu, ruang diseminasi pengetahuan bagi masyarakat agar mampu lebih memahami permasalahan dan tantangan kesehatan masa depan sangat diperlukan.
“Ini sangat perlu saya kira sebagai upaya turut mengantisipasi risiko yang kemungkinan akan berdampak pada kondisi masyarakat saat ini dan mendatang,” ujar dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH, Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Rabu (30/11) saat memberi penghantar Talk Show Kesehatan bertajuk ”Problem Dunia Kesehatan dan Tantangan Masyarakat Masa Depan”.
Talkshow diselenggarakan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM untuk mengurai berbagai tantangan kesehatan masa depan agar bisa diantisipasi secara bersama. Talkshow menghadirkan empat narasumber Endang Pamungkasiwi, SKM., M.Kes dari Dinas Kesehatan Provinsi DIY, dan Prof. dr. Hari Kusnanto Josef, SU., Dr. PH, pakar kesehatan lingkungan dan kedokteran keluarga, Dr. Lily Arsanti Lestari, STP. MP, pakar Gizi Kesehatan, dan Sutono, S.Kp., M.Sc., M.Kep, pakar Keperawatan Dasar dan Emergensi/Ketua Pokja Bencana FK-KMK UGM dengan moderator dr. Bagas Suryo Bintoro, Ph.D.
Hari Kusnanto menyampaikan emisi gas rumah kaca memicu munculnya pemanasan global dan mengakibatkan perubahan iklim secara global. Banyak bencana terjadi akibat ini seperti banjir di Jeddah, Arab Saudi, belum lama ini karena curah hujan tinggi, kemudian di tanah air bencana di Cianjur.
“Meskipun tidak terkait secara langsung dengan perubahan iklim, namun dampak dari curah hujan yang tinggi mengakibatkan tingginya longsor dan banjir di banyak tempat di Cianjur. Saya juga sempat melihat antara Wonosari ke Klaten beberapa waktu lalu bagaimana padi yang terendam yang ini tentunya pada akhirnya berkaitan dengan ketahanan pangan dan akan berdampak pada kesehatan keluarga-keluarga,” katanya.
Menurutnya, jika pangan terganggu dan banyak bencana dialami besar kemungkinan memunculkan bermacam penyakit. Beberapa perubahan pola penyakit saat ini sebagai akibat perubahan iklim antara lain seperti Malaria yang sulit dikontrol dan sebagainya.
“Ini tentu saja akan berdampak terhadap kesehatan keluarga dan masyarakat. Akibat perubahan iklim ini akan banyak bencana, penyakit menular akibat terganggunya pangan,” jelasnya.
Untuk mencegah perubahan iklim diperlukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi. Keduanya bisa dilakukan sekaligus, mitigasi dengan cara mengurangi emisi dan adaptasi menyesuaikan dampak terhadap kesehatan agar tidak terlalu terasa,
“Misalnya kita memperkirakan ke depan kesulitan air bersih, tentu akan menjadi problem sehingga sebagai upaya untuk mencegah perubahan kita lakukan mitigasi dan adaptasi. Inovasi dari SV UGM soal penampungan air hujan untuk air minum, selebihnya bisa dimasukkan ke air tanah bisa dikatakan upaya mencegah kelangkaan air di masa mendatang,” terangnya.
Endang Pamungkasiwi mengakui cuaca yang ekstrem saat ini menjadikan vektor penyakit tumbuh dengan pesat, muncul infeksi baru antara lain seperti meningkatnya kasus DBD. Menurutnya, hal itu cukup wajar mengingat kondisi alam yang sedemikian rupa menjadikan mereka berkembang biak lebih bagus.
“DBD, Malaria, angka-angkanya cenderung naik akibat situasi curah hujan tinggi. Belum lagi akibat kebencanaan akibat iklim membuat terganggunya suplai makanan sehingga kasus gizi di DIY 17,3 persen pada anak-anak yang stunting,” urainya.
Endang menyebut terkait gelombang panas dan gelombang tinggi akibat cuaca ekstrem berdampak terhadap penyakit menular dan tidak menular cukup tinggi. Penyakit tersebut seperti kelelahan, kondisi stres, dan penyakit-penyakit tidak menular lainnya seperti hipertensi, kanker, DM angkanya menduduki peringkat 1-5.
“Bila dibandingkan dengan propinsi lain, cukup memprihatinkan. Artinya memang kemudian kita di Indonesia, khususnya di DIY, sudah saatnya melakukan mitigasi dan adaptasi untuk perubahan iklim ini,” terangnya.
Sementara itu, Lily Arsanti Lestari mengungkap riset menunjukkan setiap kenaikan 2 derajat selcius suhu bumi maka nantinya di tahun 2050 dunia akan mengalami penurunan produksi pangan sebesar 30 persen. Dengan data ini bisa dibayangkan dengan penduduk yang semakin bertambah dan kebutuhan pangan semakin banyak dan terjadi penurunan produksi otomatis akan terjadi kekurangan pangan.
Lily menyebut akibat perubahan iklim menyebabkan cuaca yang tidak menentu dan sulit diprediksi. Saat ini, sulit sekali memprediksi kapan musim hujan kapan dan kapan musim kemarau.
“Ini tentunya menyebabkan kekacauan pola tanam yang semula sudah diprediksi mau menanam di bulan apa, panen di bulan keberapa menjadi kacau sehingga estimasi untuk peyediaan pangan tidak bisa diperkirakan,” ucapnya.
Belum lagi jika gagal panen maka otomatis penyediaan pangan akan terhambat. Ketersediaan pangan pun berkurang akibatnya asupan konsumsi di level rumah tangga atau keluarga juga akan berkurang.
“Sekarang ini mungkin karena krisis juga ya, orang mengkonsumsi makanan tidak begitu memperhatikan aspek gizinya tetapi yang penting kenyang sehingga beberapa kebutuhan protein akan berkurang. Begitu pula zat-zat gizi lain juga menjadi tidak optimal,” Imbuhnya.
Sutono menyitir data dari BNPB tahun 2022 menyebutkan ada 2654 bencana di Indonesia yang didominasi oleh faktor hidrometeorologi atau masalah iklim. Hal ini tentunya merupakan fenomena yang harus disikapi dengan serius karena dampaknya sangat luar biasa.
Oleh karena itu, ajaknya, orang harus mulai berpikir dan harus berani melakukan aktivitas untuk perbaikan agar dunia tidak rusak lagi. Idealnya, katanya, yang terpenting merubah perilaku.
“Global efek ini kan dari berbagai sumber, macam-macam dan sangat luas tetapi kalau saya yang penting merubah perilaku keluarga dan berangkat dari diri sendiri mulai saat ini. Dengan itu tentunya akan menimbulkan kepedulian terhadap lingkungan yang rusak dan kerusakan bisa diminimalisir,” ungkapnya.
Penulis : Agung Nugroho