UGM menerima kunjungan kerja Komisi IV DPR RI yang diketuai oleh drh. H. Slamet, Kamis (8/12). Dalam kunjungan itu, mereka diterima langsung oleh Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, S.Hut., M.P., M.Sc., Ph.D, di Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (8/12).
Pada kunjungan kerja tersebut, Komisi IV DPR RI melakukan FGD dengan pakar-pakar UGM untuk menyerap aspirasi terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Besar harapan kami bisa mendapatkan masukan dari UGM terkait RUU KSDAHE dari FGD ini,” kata Ketua Kunker Komisi IV DPR RI, drh. H. Slamet.
Slamet menyampaikan bahwa revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu dilakukan. Sebab, undang-undang ini tidak lagi bisa menjawab tantangan dan persoalan konservasi saat ini.
“UU No. 5 Tahun 1990 ini sudah hampir 30 tahun tidak dilakukan judicial review. Sementara ada sisi yang memang harus ada perubahan seperti dari penegakan hukum, pemanfaatan sumber daya alam hayati, maupun perlindungannya sehingga dengan RUU nantinya bisa menguatkan lagi pada isi per pasalnya disesuaikan dengan dinamika perkembangan zaman.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, menyampaikan harapan serupa. Dari FGD ini diharapkan pembahasan RUU KSDAHE bisa menghasilkan poin-poin penting yang bisa menjadi landasan bagi petugas teknis di bawahnya.
“Di FGD ini akan dipaparkan secara singkat masukan dari pakar UGM di bidang kehutanan dan hukum. Harapannya dengan RUU nantinya Undang-undangnya akan semakin kuat sehingga pedoman bagi petugas teknis lapangan jadi lebih jelas,”paparnya.
Turut hadir dalam FGD ini Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Dirjen PJLKK dan Direktur BPPE, Ditjen KSDAE, KLHK, Kementerian Kelautan Perikanan, dan Kementerian Perikanan. Dalam FGD mengundang sejumlah pakar diantaranya adalah Ahli Ekologi Hutan, Prof. Dr. Djoko Marsono, Ahli Manajemen Hutan, Prof. Dr. San Afri Awang, Ahli Hukum Pidana, Dr. Supriyadi, Ahli Hukum Lingkungan, Dr. Harry S, Ahli KSDH, Dr. Sena Adi S., Ahli Biologi Konservasi, Dr. M Ali Imron, serta Ahli Pengelolaan Kawasan Konservasi, Dr. Hero Marheanto. Para pakar tersebut menyampaikan masukan-masukan terkait persoalan konsep konservasi, ekosistem,
Ahli Ekologi Hutan, Djoko Marsono, dalam kesempatan itu menyampaikan sejumlah masukan terhadap RUU KSDAHE, salah satunya terkait konsep konservasi sumber daya alam. Ia lebih setuju untuk mengembalikan konsep konservasi ke UU No. 5 Tahun 1990, sebab pengertian tentang konservasi sumber daya alam hayati menjadi lebih luas. Konservasi sumber daya alam hayati dimaknai sebagai tindakan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman sumber daya alam hayati, dan pemanfaatan secara lestari terhadap sumber data alam hayati. Sementara untuk pengertian ekosistem sumber daya alam hayati saja atau lebih spesifik karena pengertian eksositem akan sangat banyak.
“Perlu konsistensi istilah tentang kawasan konservasi dan kawasan di luar kawasan konservasi, sebab selama ini masih ada inkonsistensi,”tuturnya.
Djoko menyampaikan masukan lain terkait azas konservasi sumber daya alam hayati pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati bertentangan dengan tujuan untuk kepentingan generasi yang akan datang. Lalu, terkait pemanfaatan keanekaragaman ekosistem, jenis serta genetik tumbuhan dan satwa, sudah selayaknya dipastikan hanya boleh dilakukan di luar zona inti KPA dan KSA.
Ahli Manajemen Hutan, San Afri Awang, menyampaikan masukan terkait pentingnya pengaturan masyarakat hukum adat dalam UU ini. Sebab, ada 3.200 desa yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan konservasi. Menurutnya, ke depan perlu penyelesaian mengingat hutan adat adalah hutan yang dimiliki masyarakat hukum adat dan bukan hutan negara.
“RUU DPR ini dapat dinilai progresif, sementara usulan pemerintah cenderung konservatif dan menyarankan kembali ke UU No. 5 Tahun 1990,”imbuhnya.
Langkah pemerintah yang cenderung konservatif juga terlihat dalam bab partisipasi masyarakat. Seluruh daftar inventarisasi masalah terkait hal ini ditolak oleh pemerintah, sementara di UU No. 5 Tahun 1990 partisipasi tidak jelas. Hal yang sama juga terjadi dalam partisipasi masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan. Dalam RUU DPR hal ini diatur dengan rinci dan jelas, namun pemerintah mengajak kembali pada UU KSDHAE.
“Sekali lagi pemerintah konservatif dan mengajak kembali ke UU KSDHAE, jika kembali ke UU ini maka banyak masalah tidak dapat diselesaikan,”katanya.
Sementara Ahli Hukum Pidana, Supriyadi, menekankan perlunya untuk memastikan kembali apakah RUU KSDAHE dimaksudkan untuk merubah atau mencabut UU KSDAHE karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap penyusunan judul, sistematika, dan substansinya. Selain itu, perlu adanya pemahaman bahwa RUU KSDAHE tidak bisa dikategorikan sebagai RUU Pidana Murni melainkan hanya merupakan RUU Pidana Administrasi sehingga perlu diperhatikan penyusunan materi muatan hukum pidananya.
“Penyusunan materi muatan hukum pidana dalam RUU KSDAHE perlu memperhatikan UU PPP (UU No. 12/2011 jo UU No. 15/2019 jo UU No. 13/2022), KUHP Baru (Bab I-V Buku Kesatu), maupun UU Hukum Acara Pidana/KUHAP (UU No.8/1981),”urainya.
Penulis: Ika
Foto: Firsto