Kelancaran membaca adalah dasar kesuksesan akademik anak. Anak-anak yang terampil membaca sejak usia dini dan selalu dipaparkan dengan bahan cetakan akan memiliki rasa ingin tahu lebih besar dan senantiasa ingin memperluas pengetahuannya. Sebaliknya, anak-anak yang lambat dalam penguasaan keterampilan membaca disebabkan lebih jarang mendapat latihan membaca dibandingkan dengan teman sebayanya. Anak-anak ini juga akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan membaca dengan lancar. Demikian dikatakan Prof. Dr. Amitya Kumara, M.S. saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi UGM di Balai Senat, Kamis (27/5).
Mengucap pidato “Mengasah Keterampilan Membaca pada Anak Melalui Belajar atau Bermain”, Koordinator Bidang Pendidikan Program Magister Profesi Psikolog UGM ini mengungkapkan tidak jarang ditemukan ketidaklancaran membaca anak disebabkan selalu dipaparkan materi bacaan yang terlalu canggih dan tidak sebanding dengan kemampuan mereka. Akibatnya, pada diri anak-anak tumbuh sikap dan motivasi negatif terhadap tugas membaca itu sendiri. “Proses ini disebut Mattew Effect, artinya ketidaklancaran membaca berdampak pada kegagalan anak dalam menguasai area akademik lainnya. Kegagalan ini semakin diperparah seiring anak tersebut naik jenjang kelas,” terang Amitya Kumara.
Perempuan kelahiran Yogyakarta, 25 Februari 1960 ini mengamati ketidaklancaran membaca yang muncul di tahun pertama dan kelas dua SD sering tidak terdeteksi oleh guru. Guru cenderung menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar. Sementara dalam pandangannya, justru di sinilah sesungguhnya titik awal kekompleksan masalah. “Kebanyakan ketidaklancaran membaca baru dianggap masalah ketika anak sudah duduk di kelas 3 atau 4 SD ketika mereka dituntut untuk mempelajari dan menguasai materi ajar,” jelasnya.
Pada jenjang ini, kata Amitya, anak-anak sudah tidak dilatih untuk bisa membaca. Anak diharuskan sudah bisa membaca dengan lancar dan memahami apa yang dibacanya. “Padahal, anak yang mengalami ketidaklancaran membaca di kelas-kelas awal umumnya akan mengalami kesulitan yang sama di kelas selanjutnya. Pada tingkat kelas ini, anak dianggap bermasalah jika tidak dapat memahami pelajaran, tidak dapat menjawab pertanyaan, dan sering gagal dalam mengerjakan soal ulangan,” ujar ibu Wintang Warastri ini.
Anak-anak tersebut bukannya tidak berusaha. Fakta kemampuan mereka untuk menerima dan memahami pelajaran yang diberikan guru tidaklah sebaik anak-anak pada umumnya. Mereka sesungguhnya memerlukan lebih banyak waktu dan kesempatan berlatih untuk menyamakan langkah dengan anak-anak pada umumnya.
Dalam kondisi seperti ini, guru sering kali menganggap mereka bermasalah karena perilaku mereka mengganggu proses pembelajaran, misalnya tidak dapat duduk tenang, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan belajar, tidak mencatat, tidak mengerjakan PR, dan tidak tuntas mengerjakan tugas sekolah. Di lain pihak, sesungguhnya perilaku negatif tersebut muncul karena adanya perasaan tidak mampu dan tidak percaya diri. “Dengan kata lain, perilaku negatif merupakan kompensasi dari perasaan-perasaan negatif yang terkait dengan rendahnya motivasi anak untuk meningkatkan kemampuan dirinya. Anak-anak yang mengalami kesulitan membaca ini juga memiliki masalah dalam memotivasi diri sendiri,” terang dosen tamu program pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di DIY ini.
Menurut Amitya, peran dan kedudukan orang tua sangat signifikan dalam perkembangan kemampuan berbahasa anak. Kualitas interaksi anak dan orang tua terbukti meningkatkan kemampuan ketepatan gramatika dan merupakan faktor yang signifikan bagi pertumbuhan kemampuan berbahasa. “Lingkungan berperan mengaktifkan perkembangan bahasa dikarenakan untuk mewujudkan perkembangan bahasa yang baik dibutuhkan ‘bahan’ yang baik dan lingkungan yang menopang perkembangan bahasa,” kata penulis “Peran Aktif Orang Tua terhadap Ekspresi Tulis Anak” dalam Jurnal Psikologi tahun 1999 ini. (Humas UGM/ Agung)