Kenyataan kebijakan soal impor pangan masih cukup tinggi hingga saat ini. Impor tepung terigu dan produk turunan dari susu terus meningkat. Sementara susu segar produksi dalam negeri selain jumlahnya sedikit, tidak secara keseluruhan dari produk tersebut diterima dan digunakan oleh industri susu karena tidak memenuhi standar sebagai bahan baku.
Kondisi terakhir tersebut memperlihatkan bahwa produksi susu segar di dalam negeri tidak berdaya saing dari segi kualitas dan harganya. Sedangkan dari sisi ekspor komoditas yang memperlihatkan daya saing cukup tinggi di perdagangan internasional maupun domestik adalah minyak sawit dan rempah-rempah.
Menurut Prof. Dr. Ir. Sri Rahardjo, M.Sc, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Indonesia sesungguhnya memiliki comparative advantage karena didukung dengan volume produksi yang besar dan kesesuaian dengan kondisi daerah tropis. Sayangnya, wujud komoditas yang diekspor tersebut sebagian besar masih dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya masih sedikit, misalnya sebagian masih berupa CPO (crude palm oil) atau rempah-rempah dalam kondisi utuh dan mentah.
“Selain masih sedikitnya input teknologi untuk mendiversifikasi produk turunan dari komoditas tersebut, sekarang kita dihadapkan dengan tantangan untuk memproduksi komoditas tersebut secara berkelanjutan,” ujarnya di Grha Sabha Pramana, Bulaksumur. Senin (19/12).
Menyampaikan orasi ilmiah pada Peringatan Puncak Dies-73 UGM, Sri Rahardjo secara panjang lebar mengurai pidato berjudul Pangan Berdaulat, Generasi Sehat, Bangsa Bermartabat. Menurutnya, meskipun komoditas bangsa saat ini memiliki keunggulan komparatif, tetapi perkembangan persaingan perdagangan global saat ini dan ke depan menuntut adanya keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Sehingga jika tidak dipersiapkan dan direspons dengan benar dan baik maka akan dapat mengalami nasib yang sama dengan produksi dan ekspor biji kakao. Indonesia hanya mampu menjadi pengekspor biji kakao sebagai bahan baku, sementara nilai tambah yang besar dinikmati oleh industri coklat di negeri tujuan ekspor.
“Lebih memprihatinkan lagi, ternyata untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan cokelat di dalam negeri pada beberapa tahun ini kita pun harus mengimpor biji kakao dari negara lain,” katanya.
Sri Rahardjo menandaskan untuk mencapai target tingkat kedaulatan pangan bagi Indonesia ke depan tidak lagi hanya bisa dikerjakan dengan meneruskan program dan kegiatan rutin yang sudah berjalan selama ini. Belum lagi di tingkat global maupun nasional, peningkatan produksi pertanian pangan selama ini telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan menguras sumber daya tak terbarukan yang membuat semakin menipis.
Begitu pula proses produksi pangan dan hasil pertanian lainnya yang juga banyak memerlukan penyediaan bahan bakar fosil yang semakin terbatas, semakin menipisnya cadangan air tanah, dan meningkatnya erosi tanah. Hal-hal semacam itu jika tidak diperhatikan dalam jangka panjang bisa berakibat mengancam kemampuan produksi pangan yang cukup guna memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah.
Berbicara perubahan besar di bidang pangan dan pertanian saat ini dan di masa depan, Sri rahardjo menyampaikan adanya perubahan besar di bidang pangan dan pertanian dalam sepuluh tahun terakhir dan sepuluh tahun ke depan. Perubahan-perubahan ini perlu kiranya menjadi pertimbangan dalam menyusun strategi baru untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi setiap negara.
Pertama, kondisi iklim yang polanya semakin sulit untuk diperkirakan dan ekstrem, serangan hama, dan penyakit yang makin ganas. Kedua, peningkatan proporsi penduduk yang usia lanjut dan konsumen pangan yang semakin peduli terhadap pengaruhnya bagi kesehatan dirinya, dan adanya tuntutan kebutuhan pangan yang makin spesifik bagi individu. Ketiga, peningkatan penghasilan penduduk yang membutuhkan penyediaan pangan yang makin beragam dan layanan penyajian makanan yang harus menyesuaikan tuntutan gaya hidup yang beragam.
Keempat, pemasaran dan distribusi pangan yang makin luas menembus batas-batas negara di satu sisi membuka peluang pangsa pasar baru bagi produk tertentu, tetapi di sisi lain juga menimbulkan kompetisi yang makin ketat dengan produk yang sudah ada. Kelima, terganggunya rantai pasok bahan baku pupuk dan produksi serealia akibat konflik antarnegara yang masih berlangsung.
“Yang menjadi tantangan sekarang dan ke depan adalah bagaimana menghasilkan pangan yang cukup dan beragam untuk memenuhi kebutuhan terutama di Indonesia yang jumlah penduduknya besar dan terus meningkat,” paparnya.
Diakui daya dukung sumber daya alam yang tersedia cenderung semakin berkurang atau menipis. Juga penggunaan sumber daya air yang sudah terlalu besar dan kondisi ini acap kali diabaikan. Pun soal pencemaran air yang meluas, dan emisi gas rumah kaca.
Untuk itu, konsep alternatif yang dapat ditempuh untuk mencapai tingkat kedaulatan pangan yang semakin mantap dan berkelanjutan (sustainable) ke depan antara lain dengan memanfaatkan lahan marginal dan lahan tidur untuk pertanian produktif, meningkatkan produktivitas hasil pertanian, dan meningkatkan penyediaan pangan sepanjang rantai pasok yang aman. Juga meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, mengubah pola konsumsi makanan ke arah yang lebih menyehatkan, dan mengurangi kehilangan hasil pertanian serta mengurangi jumlah makanan yang berakhir menjadi limbah.
“Dengan cara alternatif tersebut, diperkirakan dapat meningkatkan ketersediaan pangan hingga 100 persen dengan tetap menjaga dampaknya bagi lingkungan yang minimal,” katanya.
Upaya meningkatkan produksi pangan jika tidak dikelola dengan benar, disebutnya dapat berdampak memberikan beban yang semakin buruk pada lingkungan. Kegiatan produksi pangan mulai dari on farm sampai dengan proses pengolahan oleh industri dan distribusinya menimbulkan emisi gas rumah kaca dan membutuhkan ketersediaan air bersih, serta penggunaan energi yang jumlahnya semakin besar.
“Panjangnya rantai produksi dan distribusi pangan yang belum didukung dengan infrastruktur yang memadai dan pengelolaan rantai pasok yang belum efisien berakibat terjadinya food loss maupun food waste yang cukup signifikan. Hal ini bukan saja berdampak menambah beban berat bagi lingkungan, melainkan juga membuat harga jual komoditas pangan tidak dapat bersaing,” terangnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto