Komunikasi publik menjadi permasalahan ketika tidak dijalankan dengan semestinya. Dalam mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut peran komunikasi sangatlah penting, pemerintah secara khusus seharusnya bisa menjalin komunikasi yang harmonis terhadap seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah tidak dapat berjalan sendiri di dalam melaksanakan kebijakannya, begitu pula masyarakat tidak akan mendukung pemerintah apabila tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal ini komunikasi publik seharusnya mampu memberikan informasi yang cepat serta tepat kepada publik dengan cara memberikan edukasi serta ruang partisipasi yang seluas-luasnya.
Terkait permasalahan tersebut, Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi komunikasi mahasiswa (Diskoma) Edisi 5 yang membahas berbagai isu komunikasi publik di Indonesia di tahun 2022. Diskusi yang diselenggarakan secara virtual menghadirkan pembicara Dr. Nahria, S.Sos.,M.Si, dosen Universitas Muhammadiyah Papua, Andi Fauziah Astrid S. Sos, M.Si, dosen UIN Alauddin Makassar, Nyarwi Ahmad, S.I.P., M.Si., Ph.D, dosen Universitas Gadjah Mada, dan Ferdinandus Jehalut, S.Fil, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM.
Nahria sebagai pembicara pertama menyatakan Revolusi Industri 4.0 membuat teknologi informasi menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Teknologi informasi telah membawa pengaruh kompetensi pejabat pemerintah.
Menurutnya, perkembangan teknologi informasi telah mengubah segala aspek kehidupan manusia di semua bidang yang semula kegiatan dilakukan secara manual beralih dilakukan secara digital. Semua menjadi serba digital dan perubahan ini juga menggeser pola-pola komunikasi di era digital dewasa.
“Semua menjadikan arus informasi mengalir dengan deras, cepat bahkan pola-pola komunikasi linier digantikan pola komunikasi melalui pemanfaat teknologi informasi,” katanya Kamis (29/12).
Nahria menyebut hadirnya era digital dan terjadinya pergeseran komunikasi seyogyanya menjadi momentum bagi seluruh pengelola komunikasi publik untuk mampu berubah dan beradaptasi dalam melakukan komunikasi publiknya. Selain itu, disertai pula upaya pengembangan dan peningkatan kompetensi berkomunikasi publik yang efektif.
“Kompetensi ini diperlukan agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik terutama saat penyampaian ide, pikiran dan informasi lain yang berkaitan dengan publik yang realitasnya juga terjadi di komunikasi publik di Papua,” ucapnya.
Komunikasi publik di Papua juga mengalami perubahan pola mengikuti perkembangan teknonogi informasi di era digital. Saluran komunikasi yang digunakan tidak semata-mata media konvensional tatap muka dan media masa akan tetapi juga menggunakan media non-konvensional berupa teknologi dan media sosial.
Oleh karena itu, komunikator publik di Papua diharapkan adaptif terhadap segala bentuk perubahan akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, namun tetap memperhatikan kondisi sosial, budaya dan kearifan lokal. Dengan melakukan perubahan itu mampu menghasilkan komunikasi yang persuasif, mencerahkan dan mendamaikan.
“Komunikator publik harus selalu adaptif terhadap segala bentuk perubahan akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, namun tetap mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan kearifan lokal,” paparnya.
Berbagai isu di Indonesia terkait komunikasi publik sering menjadi sorotan. Komunikasi publik sendiri menjadi penanda penting bagi masyarakat demokratis. Dalam komunikasi ini, masyarakat terlibat dalam pertukaran gagasan di suatu ruang publik mendiskusikan permasalahan dan kepentingan umum.
Nyarwi Ahmad, S.I.P., M.Si., Ph.D menambahkan sistem komunikasi publik di Indonesia telah terfragmentasi dan dipahami dengan beragam perspektif. Komunikasi publik masih menjadi persoalan di Indonesia.
Ruang publik yang seharusnya berperan memfasilitasi komunikasi publik dinodai oleh derasnya arus mis/disinformasi. Tidak berlebihan jika muncul pernyataan “Indonesia darurat hoax” karenanya persoalan ini memerlukan penanganan serius, terutama di media sosial.
Ferdinandus Jehalut menyatakan diskursus dan opini publik muncul dari komunikasi dan sentimen kolektif dalam masyarakat sipil. Di sini, menurutnya sangatlah diperlukan untuk mengomunikasikan pesan kepada khalayak secara benar dan menarik.
“Masyarakat mengharapkan pemerintah dan lembaga terkait lebih aktif berkomunikasi dengan publik. Masyarakat mengharapkan pemerintah dan lembaga terkait hadir memberikan penjelasan dan merespons kegelisahan publik,” katanya.
Sementara itu bagi Andi Fauziah Astrid pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi publik di era digital bisa menjadi sebuah solusi yang efisien. Hanya saja yang menjadi pekerjaan rumah selanjutnya bagaimana menciptakan komunikasi publik yang sehat di era digitalisasi saat ini.
Penulis : Agung Nugroho