Belum lama ini viral di media sosial sebuah petisi kembalikan Work From Home (WFH) di Jakarta. WFO membuat macet menjadi salah satu hal yang disorot dalam petisi tersebut. Kondisi itu memengaruhi para pekerja menjadi stres dan berdampak pada performa kerja yang kurang optimal.
Pengamat tata rancang kota sekaligus Ketua Pusat Studi Transportasi (PUSTRAL) UGM, Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., menanggapi persoalan tersebut. Menurutnya, petisi yang disampaikan ini cukup logis. Terlebih melihat dari pengalaman saat pandemi Covid-19 banyak pihak terutama pekerja kantoran yang merasakan sejumlah manfaat dengan sistem kerja secara WFH. Mulai dari efisiensi waktu, penghematan bahan bakar, menekan emisi gas dan polusi akibat penggunaan kendaraan menuju tempat kerja, dan lainnya.
Ikaputra mengatakan jauh sebelum pandemi Covid-19 sebenarnya sudah dikenalkan teknologi komunikasi secara online, namun masih jarang digunakan untuk mendukung proses kerja. Hingga adanya pandemi memaksa sebagian besar orang menggunakannya untuk mendukung kerja dari rumah. Dari situasi tersebut muncul pemahaman tentang keuntungan penggunaan teknologi komunikasi secara online ini untuk para pekerja.
“Namun, juga perlu dipahami ada banyak sektor termasuk transportasi yang tidak bergerak dan tidak produktif terutama yang bekerjanya harus bertatap muka dan memanfaatkan mobilitas, bukan kantoran. Ketika tidak bergerak, di rumah saja, ada banyak orang yang tidak mendapatkan penghasilan,”tuturnya, Kamis (5/1).
Dosen pada Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM ini menyampaikan bahwa persoalan yang sebenarnya bukanlah pada kebijakan WFH atau WFO. Namun, lebih ke arah bagaimana menggunakan sistem komunikasi yang memudahkan orang-orang berkegiatan dalam berbagai aspek kehidupan.
“Bukan WFH atau WFO tapi pengelolaan tentang komunikasi online atau offline ini yang lebih penting, semuanya harus jadi opsi,” tegasnya.
Lalu, terkait kemacetan di Ibu Kota karena kembalinya sistem kerja dengan WFO, Ikaputra mengatakan hal tersebut bisa ditekan apabila masyarakat memiliki kesadaran dan kemauan untuk memanfaatkan transportasi publik sebagai wahana transportasi menuju tempat kerja ataupun menjalani aktivitas lainnya. Namun, sampai saat ini masih banyak masyarakat di Jakarta yang memilih menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat mobilitas sehari-hari daripada memakai transportasi publik.
“Untuk itu penting membangun mindset dan budaya memahami keuntungan menggunakan transportasi publik itu banyak manfaatnya,” ujarnya.
Ikaputra melihat bahwa persoalan transportasi di Jakarta adalah pada layanan dan jumlah penduduknya. Namun, Jakarta terus berbenah untuk mewujudkan transportasi publik yang lebih baik dengan penambahan dan perbaikan berbagai fasilitas. Seperti yang belum lama dilakukan, pemerintah telah meresmikan Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral dan terbesar di Indonesia. Pengembangan Stasiun Manggarai ini akan meningkatkan kapasitas jumlah penumpang yang transit di sana.
“Lima tahun lalu ada sekitar 800 ribu orang per harinya yang berpindah melalui stasiun ini dan sekarang ada sekitar 1,1 juta-an orang per hari. Orang yang berpindah lebih banyak, artinya kan semakin banyak yang menggunakan, ada perbaikan layanan jadi semakin baik,” paparnya.
Apabila kebijakan WFH kembali diterapkan, Ikaputra menyebutkan akan menghambat bahkan menghentikan kerja transportasi publik.
“Perputaran ekonomi di sektor transportasi akan berhenti, perputaran ekonomi hanya terjadi di kantor saja. Ini yang harus dipahami juga,” terangnya.
Sementara itu, pengamat transportasi UGM, Prof. Dr.-Ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc., menyebutkan bahwa WFH bukan menjadi jawaban untuk mengatasi persoalan kemacetan transportasi di Jakarta. Masalah kemacetan bisa diselesaikan dengan penyediaan fasilitas angkutan umum yang memadai serta pengurangan kendaraan pribadi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
“Kalau penyelesaian macet itu dengan sistem transportasi yang baik dan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi,” katanya.
Ahmad Munawar mengungkapkan bahwa dari semua kota di Indonesia, penggunaan angkutan terbaik adalah Jakarta. Di provinsi ini memiliki transportasi umum yang tergolong lengkap mulai dari MRT, Trans Jakarta, ada integrasi dan keterpaduan angkutan umum di Jakarta dengan kabupaten kota di sekitarnya.
“Jakarta itu sudah terbaik dalam penggunaan angkutan umumnya, tapi karena jumlah penduduknya yang sedemikian banyak sehingga perlu diperbaiki lagi. Persentase penggunaan angkutan umum di Jakarta termasuk tinggi, tetapi banyak yang tinggal di luar Jakarta sehingga perlu penambahan angkutan umum dan susbsidi yang tinggi,” urainya.
Sedangkan kebijakan bekerja akan dilakukan secara WFH atau WFO ini sebaiknya tidak ditetapkan sama rata di setiap sektor. Sebaiknya pengaturan kebijakan sistem kerja dilakukan oleh instansi masing-masing disesuaikan dengan jenis pekerjaan maupun kondisi pegawainya.
Ia mencontohkan di sektor pendidikan. Dari pengalaman mengajar selama pandemi, ia merasakan pembelajaran berjalan kurang efektif dengan WFH menggunakan sistem online. Ada hal-hal yang tidak tercapai dengan maksimal saat dilakukan secara online seperti interaksi dan diskusi antara dosen dengan mahasiswa. Namun, saat pembelajaran kembali dilakukan di kampus pembelajaran berlangsung lebih efektif, interaksi berjalan dengan baik sehingga kemampuan mahasiswa berdiskusi sangat tinggi.
“Harus dilihat kalau bisa efisien dan efektif WFH ya silakan, tapi kalau tidak ya kerja di kantor,”terangnya.
Penulis: Ika