Pengamat politik UGM, Mada Sukmajati, menilai bahwa perbincangan seputar Pemilu Presiden 2024 masih terbatas pada nama atau figur calon pemimpin. Menjelang tahun politik yang semakin dekat, menurutnya sudah seharusnya ada pergeseran diskursus ke program dan gagasan.
“Narasi Pilpres masih terjebak pada nama, mengasumsikan bahwa setiap nama punya program yang jelas mulia. Padahal itu belum jelas. Belum kelihatan adu gagasan sang nakhoda akan membawa kapal besar Indonesia ke mana lima tahun ke depan,” ucapnya pada Pojok Bulaksumur yang digelar Kamis (12/1).
Mada melanjutkan, sepanjang diskursus seperti ini masih berkembang, politik programatis tidak dapat berkembang. “Menurut saya ini sangat ironis. Mau dibawa ke mana Indonesia ke depan sampai sekarang belum tahu,” ucapnya.
Hal serupa disampaikan oleh Andi Sandi, pakar hukum tata negara Fakultas Hukum UGM. Menurutnya sudah saatnya para kandidat didorong untuk lebih fokus menawarkan program kerja lima tahun mendatang. Selain itu, tensi dan polarisasi perlu dikurangi, terutama yang melibatkan politik identitas.
“Ini tidak baik bagi kontestasi politik. Ketika memanfaatkan isu SARA ini tidak menyelesaikan masalah,” tuturnya.
Ia menerangkan bahwa dalam proses kampanye ada kecenderungan dari kandidat politik untuk saling menyerang. Hal ini menjadi salah satu isu yang perlu menjadi perhatian dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Perlu dipahamkan bahwa ketika menonjolkan program tidak perlu mendiskreditkan calon dari partai lain. Efeknya masyarakat makin terpecah, padahal Indonesia dibangun di atas fondasi persatuan. Menonjolkan diri boleh tapi tidak dengan menginjak yang lain,” imbuh Andi.
Pada kesempatan yang sama, pakar komunikasi politik UGM, Nyarwi Ahmad, berbicara seputar potensi penyebaran hoaks atau disinformasi menjelang tahun politik 2024. Disinformasi, menurutnya, berpeluang tumbuh subur di tengah lanskap masyarakat modern yang lekat dengan penggunaan media sosial, dan di tengah pertarungan politik dengan polarisasi yang kuat.
“Dalam dunia politik informasi menjadi oksigen, kunci yang menggerakkan semua persepsi bahkan semua perilaku. Kalau zaman dulu dari media massa ada gatekeeper teman-teman wartawan, di sini siapa pun bisa jadi content creator. Di sini ada peluang hoaks dengan mudah diproduksi dan dengan cepat tersebar,” kata Nyarwi.
Upaya menekan penyebaran hoaks memang telah bermunculan, baik berupa gerakan literasi dari berbagai kalangan masyarakat maupun upaya-upaya dari pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi. Selain itu, Nyarwi menilai para elite politik kini juga cukup hati-hati dalam menyebarkan informasi melalui media sosial demi menjaga citra dirinya. Kondisi ini membawa harapan untuk meredanya hoaks, namun kunci penentu dipegang oleh para elite politik dan kesadaran mereka dalam melakukan komunikasi politik secara bijak.
“Kembali lagi pada aktor elite politik, sejauh mana mereka punya kesadaran itu. Bermain dengan hoaks itu seperti main api, bisa merugikan para aktor yang berkontestasi juga,” ucapnya.
Senada dengan Mada dan Andi, ia juga menekankan pentingnya komunikasi politik yang berfokus pada visi misi dan orientasi kebijakan. “Komunikasi politik yang baik bukan hanya persuasif tetapi mencerahkan dan menginspirasi,” ucapnya.
Penulis: Gloria