YOGYA (KU)-Dewasa ini, kerusakan jaringan keras tubuh yang berupa kecacatan struktur tulang banyak terjadi di Indonesia. Selama ini, kasus-kasus yang terjadi belum dapat ditolong, terutama karena harganya yang mahal dan persoalan bahan baku. Disayangkan memang, karena sampai saat ini bahan baku pembuat tulang masih diambilkan dari pasar dunia (impor).
Hal itulah yang mendorong UGM melalui beberapa penelitinya untuk mengembangkan pembuatan bone substitute material, seperti Hydroxyapatite (HA). HA digunakan karena tulang manusia dewasa mengandung sekitar 68% HA, demikian juga email gigi mengandung HA hingga 97%. “Sejauh ini kan cara yang paling sering dilakukan dokter untuk menambal tulang yang kurang adalah dengan mengambil bagian tulang lain di tubuh pasien (autograph), maka dengan tersedianya HA ini sintetik yang dibuat pabrik akan menjadi pilihan yang menjanjikan,” ujar ketua tim riset Bioceramics Minifactory UGM, Dr. Alva E. Tontowi, di kantornya, Rabu (2/6/2010).
Disebutkan Alva, tim riset UGM ini terdiri atas beberapa orang dosen, dokter, dan praktisi, yaitu Ir. Arif Budiman, M.S., D.Eng. (Jurusan Teknik Kimia), drg. Ika Dewi Ana, Ph.D. (Fakultas Kedokteran Gigi), dr. Punto Dewo, Sp. Ortho (RSUP Dr. Sardjito), Dr. dr. Rahadyan Magetsari, Sp. Ortho (RSUP Dr. Sardjito), Dr. Ngakan Putra Antara (Balai Besar Keramik Bandung), A. Hendrawan J., S.T. (alumnus Jurusan Teknik Mesin dan Industri), dan Dr. M.K. Herliansyah.
Alva menjelaskan kebutuhan material bioceramic, seperti HA, ini dari tahun ke tahun terus meningkat. Ia mencontohkan kebutuhan dunia sekarang ini setara dengan 1.625 ton/tahun dan di Indonesia diperkirakan kebutuhannya berkisar 10 ton/tahun. “Saat ini, kebutuhan Indonesia dipenuhi produk impor dari negara maju, seperti Japan, Germany, USA, dan Swiss,’ tuturnya.
Dengan masih dipasoknya kebutuhan HA dari luar negeri, harganya juga masih relatif lebih mahal. Sebagai contoh, produk HA impor dalam bentuk pasta kemasan 2 ml, harganya sekitar 1,25 juta rupiah, sedangkan dalam bentuk serbuk kemasan 500 g, harganya hingga 5 juta rupiah. “Meskipun bahan baku HA tersedia di Indonesia , hingga saat ini belum ada pabrik yang berdiri,” jelas Alva.
Lebih jauh Alva menambahkan dengan berdirinya minifactory yang telah diresmikan oleh Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha UGM, Prof. Atyanto Dharoko, 26 Mei 2010 lalu, diharapkan dapat menjadi inkubator pabrik medik UGM yang 20-30 tahun ke depan akan menjadi salah satu pemain baru di industri kedokteran di Indonesia dan dunia. “Kapasitas maksimum yang diproduksi di sini memang masih kecil, antara 1,2 ton/tahun atau hanya memenuhi 12% market share dari total kebutuhan 10 ton/tahun itu,†kata Alva.
Bioceramics Minifactory yang berdiri di bekas bengkel UGM ini merupakan project riset dari Kementerian Riset dan Teknologi RI, yang dirintis sejak 2009 lalu. Secara teknologi, HA sintetik yang diproduksi di sini menggunakan beberapa bahan alam baku, semisal gypsum (dari Kulon Progo), calcite (dari Gunung Kidul), dan tulang sapi serta material bahan alam lain yang berbasis Ca/P.
Dengan harga produk yang relatif murah hingga 30-40%, produk HA sintetik buatan UGM ini ke depan diharapkan mampu menggantikan produk impor sehingga semakin banyak pasien cacat bawaan atau kecelakaan di Indonesia yang dapat ditolong. “Selain riset, kita lakukan produksi kecil-kecilan dan nanti untuk pengabdian kepada masyarakat pula,†terangnya.
Ditambahkannya bahwa HA sintetik yang dihasilkan UGM telah melalui uji toksisitas dan uji invivo (diujicobakan pada hewan tikus). Nantinya, produk ini juga akan dilakukan uji klinis, uji lolos etika kedokteran, dan uji BPOM sebelum dikomersilkan (Humas UGM/ Satria)