Menuju pemilihan umum 2024, berbagai kampanye politik gencar dilakukan sejak tahun lalu. Berbagai dinamika politik Indonesia yang terjadi beberapa tahun terakhir cukup menentukan bagaimana minat masyarakat terhadap pemilu 2024. Tapi apakah keterlibatan masyarakat dalam politik tersebut bisa disebut merata, atau justru beberapa golongan teralienasi dari politik dalam negeri?
Kampanye politik dalam kanal digital baru-baru ini menjadi “tren” di kalangan partai politik. Tentunya, target yang banyak dicari adalah pengguna aktif media sosial, khususnya kelompok generasi Z. Namun, hal tersebut tidak menurunkan dinamika politik yang terjadi pada kelompok lainnya, seperti warga pedesaan. Menurut pengamat politik UGM, Nyarwi Ahmad, Ph.D, gencarnya dinamika politik di media sosial tidak menyingkirkan argumen bahwa politik di desa juga ikut berkembang. “Jangan terlalu menganggap masyarakat pedesaan ini seperti 30-50 tahun yang lalu. Saya kira dengan adanya Undang-Undang Desa itu luar biasa sebenarnya, dalam arti desa menjadi entitas politik yang luar biasa kuat,” ungkap Nyarwi, Selasa (31/1).
“Kadang kala kembali lagi pada bagaimana masyarakat desa ini memahami demokrasi. Sejauh mana misalkan kebijakan-kebijakan itu bisa dielaborasi dengan berorientasi pada agenda jangka panjang—seperti peningkatan kualitas hidup—dan saya lihat itu terjadi di tingkat desa,” tambahnya. Kembali pada eksistensi Undang-undang Desa, Nyarwi menjelaskan bagaimana problematika di desa sangat mungkin diselesaikan melalui undang-undang tersebut.
Pemaknaan masyarakat dalam partisipasi politik seharusnya tidak hanya seputar angka partisipasi pemilu saja. Kebijakan pemerintah dengan usahanya mewujudkan kesejahteraan sosial juga merupakan bentuk dinamika politik. Hanya saja, apakah masyarakat memaknai dinamika tersebut sebagai sebuah bentuk demokrasi atau sekedar bantuan semata.
Selain kelompok masyarakat desa, entitas penting dalam politik Indonesia tentunya adalah kelompok muda generasi Z. Aktifnya Gen Z dalam dunia politik umumnya didominasi sebagai kelompok kritik, daripada pemangku jabatan. Hal ini kemudian memunculkan isu tentang identitas generasi. “Saya lihat problemnya adalah tidak adanya kesadaran identitas generasi yang muncul di generasi milenial maupun generasi Z. Seberapa mereka itu punya hak dalam menentukan atau mewarnai dunia politik, menjadi pejabat politik, atau punya peluang untuk dicalonkan,” tutur dosen Fisipol UGM tersebut.
Menurut pengamatannya, generasi Z saat ini lebih tertarik pada dunia bisnis dan enterpreneurship seperti start-up ketimbang dunia politik. Fakta tersebut sebenarnya bukan merupakan masalah mengingat tantangan ekonomi Indonesia saat ini. Tapi di sisi lain, dunia politik juga masih membutuhkan angin segar dari kelompok muda agar tetap terjaga dinamikanya.
Terakhir, dengan banyaknya keterlibatan berbagai kelompok dalam politik Indonesia, Nyarwi mewanti-wanti mengenai isu polarisasi yang kemungkinan terjadi pada Pemilu 2024. “Perlu kita amati bagaimana polarisasi ini terbentuk, terkait isu ekonomi sosial, maupun isu agama. Saya kira memang belum terlihat untuk Pemilu 2024, tapi perlu kita waspadai,” ucapnya.
Penulis: Tasya
Foto:krjogja.com