YOGYAKARTA (KU)-Untuk lebih menjamin objektivitas, pola rekrutmen tax lawyer (kuasa hukum perpajakan) perlu dikembangkan untuk dilakukan oleh lembaga yang independen, bebas, dan mandiri seperti organisasi advokat. UU advokat juga telah memberikan wewenang yang luas kepada organisasi advokat untuk mengangkat, mengawasi, dan bahkan memberhentikan profesi advokat.
“Sejauh ini kan tax lawyer ini nampaknya masih tersentralisasi pada ketua pengadilan pajak,” kata dosen Fakultas Hukum UGM, Dr. Sutanto, S.H., M.S., ketika berbicara dalam Seminar Nasional “Eksistensi Tax Lawyer dalam Penyelesaian Sengketa Pajak: Urgensi Pengaturan di Masa yang akan Datang”. Seminar digelar di Fakultas Hukum UGM, Kamis (3/6/2010).
Sementara itu, mengenai batas waktu izin tax lawyer, peraturan perpajakan membatasi hanya diberikan selama 12 bulan dan dapat diperpanjang selama 12 bulan lagi. Persoalan akan muncul apabila izin yang diberikan sudah habis, tetapi proses penanganan sengketa pajak belum terselesaikan. Mekanisme yang diterapkan dalam UU Advokat dengan memberikan tenggang waktu lebih panjang lisensi sebagai advokat perlu diterapkan pada UU tentang tax lawyer di masa mendatang. “Persoalan batas waktu izin tax lawyer ke depan juga perlu dipikirkan agar tidak lagi menjadi persoalan,” tuturnya.
Dalam pandangan Sutanto, untuk tax lawyer, tampaknya peraturan perundang-undangan hanya menentukan adanya kewajiban untuk mematuhi semua ketentuan perundang-undangan perpajakan, termasuk UU tentang pengadilan pajak. Pelanggaran terhadap hal ini berakibat pencabutan izin tax lawyer. “Untuk itu, ke depan pengaturan adanya kode etik profesi tax lawyer secara rinci sehingga mereka akan menjalankan profesinya dengan penuh tanggung jawab,” tambahnya.
Diakui Sutanto, jika dilihat dari substansi yang diatur, memang ada beberapa hal yang tidak sinkron antara UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang UU Pengadilan Pajak dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, seperti latar belakang advokat dan tax lawyer, serta lembaga yang mengangkat, mengawasi, dan memberhentikan kedua profesi tadi. Namun, hal itu dapat diatasi karena masing-masing mempunyai ranah yang berbeda “Mempertentangkan UU Pengadilan Pajak dengan UU Advokat yang punya kedudukan sama dalam satu sistem hukum akan dijawab dan diselesaikan oleh azas hukum lex spesialis derogat legi generali,” katanya.
Sementara itu, Ichwan Sukardi, S.H., L.L.M., dari KPMG Hadibroto Jakarta menuturkan pembinaan pengadilan pajak berdasarkan UU masih terdapat dualisme. Secara teknis di bawah MA, tetapi administrasi masih di bawah Menteri Keuangan. Menurut peraturan, seorang advokat dapat menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak jika memenuhi persyaratan dan ketentuan pengadilan pajak. Sayangnya, UU Advokat tidak mengakomodasi keberadaan pengadilan pajak dalam konsiderans, butir mengingat. “Maka ke depan perlu adanya perubahan UU Pengadilan Pajak untuk mengakomodasi beberapa peraturan akibat perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (UU KUP),” kata Ichwan. (humas UGM/Satria)