People pleaser menjadi istilah yang kerap digunakan masyarakat untuk melabeli seseorang yang tidak bisa menolak permintaan orang lain. Apakah benar pemaknaan tersebut?
Psikolog UGM, Smita Dinakaramani, S.Psi., M.Psi., Psikolog., menjelaskan people pleaser merupakan pelabelan informal bagi individu yang memiliki keinginan kuat untuk menyenangkan orang lain.
“People Pleaser ini basically membantu dengan motif untuk menyenangkan orang lain meski itu merugikan dirinya sendiri. Itu perbedaanya dengan orang yang benar-benar mau membantu, bisa memetakan kapasitasnya sampai mana bisa membantu atau tidak,” paparnya, saat dihubungi Kamis (9/2).
Smita menyebutkan terdapat beberapa ciri yang mencerminkan people pleaser. Ciri dalam diri orang dengan people pleaser adalah memprioritaskan kepentingan maupun perasaan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Bahkan, jika hal tersebut merugikan dirinya sendiri tidak menjadi persoalan bagi people pleaser.
“People Pleaser akan menaruh kebutuhan diri sendiri pada urutan paling akhir. Perasaan, kebutuhan, serta opini diri tidak lebih penting dari orang lain,”ucapnya.
Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menjelaskan ciri lain people pleaser yakni ingin terlihat sempurna. Dengan terlihat sempurna diharapkan dapat menyenangkan semua orang.
Sementara ciri di luar diri, people pleaser ini memiliki keinginan kuat semua orang untuk menyukai dirinya. Ada keinginan untuk mendapatkan validasi diri yang baik dari orang lain yang sangat kuat.
Disamping itu, membiarkan dirinya untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Lalu, mudah atau sering meminta maaf karena penuh dengan rasa bersalah maupun takut disalahkan.
“Ciri lain saat menolak atau menetapkan batasan kemudian muncul perasaan bersalah yang sangat mendalam,” imbuhnya.
Berikutnya, people pleaser juga takut terhadap konflik. Ada perasaan cemas, tidak nyaman, serta takut apabila tidak disetujui orang lain.
Smita mengatakan bahwa people pleaser bisa terjadi kepada siapa saja. Sebab menjadi sebuah hal yang wajar untuk memiliki keinginan agar disukai oleh orang lain.
“Ya ini bisa terjadi ke siapa saja karena pada dasarnya semua orang pengen diterima dan disukai,”ucapnya.
Smita menjelaskan ada banyak penyebab atau faktor pendorong mengapa mereka menjadi people Pleaser. Salah satunya, kepercayaan diri (self esteem) yang rendah. Saat melihat orang lain lebih keren maka orang dengan kepercayaan diri rendah akan menganggap bahwa perasaan maupun pendapatnya bukanlah hal yang penting dibandingkan perasaan dan pendapat orang lain.
“Orang-orang dengan kepercayaan diri rendah kalau mengatakan Yes merasa jadi berguna, tetapi jika menyatakan No jadi merasa tidak berguna,”tuturnya.
Faktor lain, sikap people pleaser ditujukan untuk menghindari konflik dengan orang lain. Untuk menghindari konflik yang dilihat sebagai perbedaan menjadikan people Pleaser berusaha menyamakan pendapatnya dengan orang lain.
Lalu, rasa cemas karena ingin bisa beradaptasi untuk bisa disukai orang lain. People pleaser memiliki kecemasan karena takut konflik dan ditolak.
“Semua motifnya ya agar semua suka,”katanya.
Ia menambahkan faktor budaya juga menjadi salah satu faktor pendorong mengapa orang menjadi people pleaser. Misal suatu negara memiliki nilai-nilai untuk memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas kepentingan diri sendiri akan mempengaruhi masyarakat didalamnya untuk menurunkan nilai tersebut.
Sikap people pleaser ini apabila terus berlangsung disebutkan Smita bisa mengakibatkan kelelahan fisik dan mental. Tak hanya itu, people pleaser yang berlebihan dapat berakibat sulitnya mengetahui keinginan diri sendiri (lost sense of self) karena segala yang dilakukan dan dipilihnya tergantung pada orang lain. Lalu, bisa menyebabkan perasaan tertekan karena tidak menjadi dirinya sendiri. Penampilan juga terabaikan karena acuh terhadap kepentingan diri sendiri.
“Sikap people pleaser juga bisa berdampak pada hubungan sosial. Saat di tempat kerja berusaha baik ke semua orang lalu sampai rumah sudah capek fisik mental kalau tidak pandai mengelola emosi akhirnya mudah marah pada anggota keluarga,” urainya.
Lantas bagaimana untuk berhenti menjadi people pleaser? Smita membagikan sejumlah tips yang bisa diikuti. Pertama, menanamkan pola pikir (mindset) untuk bisa menjaga diri sendiri. Mengutamakan diri sendiri tidak berarti menjadi egois karena kebahagiaan orang lain bukan menjadi tanggung jawab utamamu dan jangan menjadikannya sebagai beban.
Kedua, memahami bahwa kita tidak bisa membuat semua orang senang dan menyukaimu. Hal ini penting untuk dipahami agar tidak memaksakan diri secara terus menerus untuk bisa disukai oleh orang lain karena akan mengakibatkan kelelahan fisik dan mental.
“Pahami tidak semua orang akan menyukai kita. Impossible bisa menyukai orang 100%, bahkan orang terdekat kita pun ada hal-hal yang tidak kita sukai,”jelasnya.
Ketiga, membuat batasan diri menolong orang lain. Kenali kemampuan diri, sejauh mana bantuan yang bisa diberikan.
Keempat, memahami berkonflik tidaklah selalu menjadi hal yang buruk. Mengutarakan pendapat yang berbeda dengan komunikasi yang sehat justru dapat meningkatkan hubungan.
Kelima, cobalah untuk menahan diri untuk tidak spontan menerima permintaan orang lain. Misalnya ada orang yang minta dibantu pekerjaannya atau permintaan tolong lainnya, coba untuk tidak langsung mengiyakan. Ambil waktu untuk memikirkan seberapa penting persoalnnya dan apakah kita berada dalam kapasitas bisa membantu.
Keenam, belajar untuk berkata tidak. Menolak hal yang tidak sesuai dengan perasaan maupun keinginan diri bukanlah berarti menjadi orang yang buruk ataupun menjatuhkan orang lain.
“Belajar pelan-pelan, coba sampaikan pendapat yang kita inginkan dahulu dan baru setelah itu menolak. Misal saat diminta untuk lembur sampai jam 9 malam, sampaikan saya keberatan kalau lembur sampai jam 9 malam karena masih harus mengurus keluarga di rumah dan tawarkan bagaimana jika lemburnya hanya sampai jam 6 saja,” katanya.
Apabila cara-cara ini masih belum efektif, masih kesulitan untuk menghilangkan sifat people pleaser bahkan sudah sangat menganggu ketenangan jiwa dan relasi sosial, Smita mengimbau untuk jangan ragu meminta bantuan pada tenaga ahli atau profesional untuk berkonsultasi.
Penulis: Ika