Pengembangan desa wisata merupakan salah satu bentuk percepatan pembangunan desa secara terpadu untuk mendorong transformasi sosial, budaya, dan ekonomi desa. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hampir semua desa di Indonesia pengin mengembangkan sektor ini.
Dalam pengembangan desa wisata ini diperlukan kesiapan sumber daya manusia agar mereka tidak menjadi penonton di rumah sendiri. Oleh karena itu, tiap daerah dan desa perlu mencermati potensi yang dimiliki untuk diangkat dan dikembangkan agar memberikan nilai tambah serta menghasilkan produktivitas yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
“Harus diakui upaya pendayagunaan lokal salah satunya dapat dilakukan melalui sektor kepariwisataan. Target utamanya adalah mendorong kesejahteraan warga. Sektor pariwisata sampai dengan hari ini masih dipercaya sebagai katup penyelamat bagi sebagian wilayah Indonesia yang memiliki sumber daya pariwisata,” ujar Dr. Destha Titi Raharjana, S.Sos., M.Si, peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM, saat menjadi pembicara Forum 2045 Dialog Kebangsaan Refleksi 25 Tahun Reformasi bertema Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Pengembangan Desa Wisata, Rabu (8/2).
Melihat sebentar kebelakang, kata Destha, maka berbicara soal desa wisata atau pariwisata perdesaan tidak lepas dari isu kondisi kemiskinan masyarakat. Kondisi ini tentunya menjadi salah satu target poin dari pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata agar derap pembangunan pariwisata di tanah air tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang tetapi banyak orang.
Sebagai contoh, bagaimana keberadaan Borobudur tidak hanya dimanfaatkan atau mendapat impak dari BUMN, tetapi bagaimana juga dirasakan oleh desa-desa sekitar Borobudur. Hal sama juga menyangkut keberadaan sirkuit Mandalika.
“Bagaimana dengan desa-desa penyangga Mandalika agar mereka turut merasakan. Seiring kesadaran ini, pemerintah mencoba memfasilitasi dengan berbagai program diantaranya bagaimana upaya pengentasan kemiskinan melalui sektor pariwisata,” katanya.
Belajar desa wisata sejak 2008 ketika menjadi Manajemen Konsultan di PNPM Mandiri Pariwisata, dirinya menyampaikan desa-desa wisata di waktu itu mendapat sponsor dari pemerintah. Saat pemerintah berganti dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi ada UU Desa yang dinilai bisa menjadi kendaraan untuk bisa dipergunakan menghasilkan profit melalui Badan Usaha Milik Desa.
Berbicara secara tidak langsung soal desa wisata, kata Destha, suka tidak suka mau tidak mau akan ada unsur politik lokal. Oleh karenanya mengurus desa wisata dinilainya lebih sulit dibanding mengurus satu hotel.
“Hotel ada GMnya (General manajer), sementara Desa Wisata kepalanya banyak. Untuk itu segala keinginan harus disesuaikan harus disepakati bersama ada rule of the gamenya. Ada aturan-aturan di situ,” terangnya.
Belajar dari sebelum dan pasca covid, Destha menuturkan pergerakan ekonomi justru munculnya dari aktivitas desa wisata. Meskipun di tahun 2020 diakui banyak desa wisata vakum kegiatan.
Meski vakum kegiatan bukan berarti masyarakat tidak bisa makan karena sejatinya wisata yang hadir di desa itu hanya sebagai bonus bukan aktivitas pokok. Hal inilah yang harus diyakinkan bahwa hampir semua desa wisata basisnya adalah agro baik peternakan, pertanian, dan perikanan.
“Jadi, bukan daya tarik buatan. Ini penting dan menjadi satu catatan agar bagaimana masing-masing desa wisata di Indonesia mampu memiliki yang dalam bahasa ekonomi disebut unique selling possioning atau dalam bahasa biologi DNA berupa identitas yang paling penting untuk disadari sejak awal,” jelasnya.
Sebagai masyarakat desa yang berdaya, Destha berharap masyarakat desa wisata mampu merespons secara positif menyiapkan diri dan menyiapkan perubahan perilaku yang ada. Diharapkan masyarakat di desa wisata berperan menjadi tuan rumah yang baik.
Segala aktifitas masyarakat bagi yang baru belajar desa wisata diharapkan selalu mengarah pada pokok sasaran Sapta Pesona. Bagaimana isu-isu strategis yang masih menjadi hambatan bisa untuk sarana mengembangkan dirinya. Karena bagaimanapun desa wisata itu sebenarnya pada intinya menawarkan pengalaman dan bukan sekedar menjual tiket.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Detik.com