YOGYAKARTA (KU)- Keberadaan Pancasila saat ini telah termarginalisasi secara struktural. Marginalisasi tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, baik ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Peneliti dari Magister Studi Kebijakan (MSK) UGM, Arqom Kuswanjono, memberi contoh adanya upaya untukmengganti Pancasila dengan ideologi lain. “Padahal Pancasila itu harus dipahami dalam pengertian substansi maupun bentuk dan saya melihatnya memang ada upaya untuk mengganti Pancasila ini dengan ideologi lain,†kata Arqom dalam diskusi di Gedung Masri Singarimbun MSK UGM, Kamis (3/6/2010).
Arqom menambahkan marginalisasi secara epistemologis dapat dilihat, yakni Pancasila tidak dijadikan acuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga banyak peraturan yang menyimpang dari Pancasila. Contohnya, UU BHP yang dibatalkan karena cacat ideologis. Selain itu, juga tidak dicantumkannya Pendidikan Pancasila dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. “Belum lagi adanya kebijakan ekonomi yang neo-liberalis,†tuturnya.
Sementara itu, marginalisasi secara aksiologis bermakna bahwa Pancasila tidak secara konsisten dijadikan acuan sebagai moralitas berbangsa dan bernegara sehingga muncul demoralisasi masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan terjadinya berbagai kasus korupsi hingga konflik antar masyarakat. “Akibatnya, fungsi sosial agama menurun, berganti dengan potensi konflik agama,†tambahnya.
Dengan termarginalisasikannya Pancasila secara struktural mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan jati diri (karakter). Dengan begitu, seperti ada ruang kosong yang kemudian memungkinkan masuknya neo-liberalisme, komunisme, fundamentalisme, dan aliran sesat. “Pancasila sebenarnya tidak memposisikan ideologi lain itu sebagai lawan, tapi bagaimana bisa mengakomodasikan hal-hal yang baik dan positif supaya bermanfaat bagi bangsa dan masyarakat,” terang Arqom.
Dijelaskan oleh Arqom, sebagian pihak masih memandang Pancasila dari sisi historis atau dari sisi luarnya saja. Padahal, nilai-nilai Pancasila dapat digali lebih dalam melalui isi dan bentuknya. Di sisi lain, dengan kondisi yang semakin termarginalisasi ini, para pemimpin bangsa khususnya belum banyak berperan dan memberi contoh bagaimana meneladani dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. “Yang dibutuhkan adalah contoh dan teladan dari atas. Kalau contohnya saja tidak ada atau buruk, tentu juga akan berdampak ke tingkat bawah juga,†pungkasnya. (Humas UGM/satria)