Kurang lebih 30 tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada permasalahan munculnya kembali penyakit menular pada hewan khususnya ternak produktif. Wabah penyakit hewan menular selama 30 tahun tersebut tentu akan memengaruhi kondisi kesehatan hewan nasional yang dapat berdampak pada ketersediaan pangan asal hewan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan pemerintah dalam mengantisipasi, mengendalikan, dan menanggulangi penyakit hewan khususnya penyakit infeksi baru (EID) dan REID dipertanyakan banyak pihak. Pasalnya, sistem kesehatan hewan nasional saat ini terlihat tidak efektif dan sudah diketahui banyak pihak bahwa kelembagaan yang mengelola kesehatan hewan nasional masih sangat lemah.
Hal itu dikemukakan oleh Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, SU, M.Sc., dalam Seminar Purna Tugas yang bertajuk Politik Epidemiologi: Memperkuat Analisis Sosial-Ekonomi Melawan Penyakit Hewan Menular di Indonesia yang berlangsung di Grha Sabha Pramana UGM, Selasa (28/2).
Lemahnya upaya pengendalian dan menanggulangi wabah penyakit hewan menular eksotik di tanah air menunjukan belum siapnya sistem pelayanan kesehatan hewan dalam menghadapi dan menangani keadaan darurat melalui tindakan yang cepat dan efisien. Sebab, penjaminan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat (Veteriner) di Indonesia saat ini telah menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi, kabupaten dan kota sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan urusan penjaminan kesehatan hewan merupakan sub-urusan pertanian, akibatnya urusan kesehatan hewan menjadi urusan pemerintahan.
Tidak hanya sampai di situ, ujar Bambang, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mengurusi fungsi kesehatan hewan digabungkan dengan urusan-urusan pilihan lainnya. Fokus penjaminan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner menjadi sangat lemah bahkan tidak menjadi prioritas daerah. Padahal, untuk menjamin kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat diperlukan upaya surveilans dan pemetaan, penyidikan dan peringatan dini, pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan berbagai penyakit dan non-penyakit yang berpengaruh terhadap kesehatan hewan, masyarakat, dan lingkungan secara berkelanjutan
Mantan Dekan FKH UGM 2009-2012 ini menyampaikan ada banyak masalah serius dalam sektor agraris termasuk sub sektor kesehatan hewan di Indonesia. Namun, karena perumusan kebijakan lebih banyak dikendalikan oleh para elite politik yang lebih mengutamakan kepentingan sesaat, maka tidak banyak perbaikan dalam perumusan kebijakan yang berpihak kepada masalah-masalah tersebut. Terkait dengan kebijakan pangan misalnya, sistem yang oligarki yang intinya adalah proses perumusan kebijakan publik yang dipengaruhi oleh perkembangan kapitalis yang begitu kuat sebenarnya lebih mengakomodasi kepentingan para elite dan mengesampingkan kepentingan para petani, peternak, atau kepentingan publik secara keseluruhan.
Sedangkan pada saat terkena wabah penyakit hewan menular menimbulkan ancaman signifikan terhadap sektor peternakan dan kesehatan hewan, memberikan dampak ekonomi dari risiko masuknya penyakit. Dampak ini bersifat multidimensi dan selalu tidak dipahami dengan baik, sehingga memperumit respons kebijakan yang efektif. “Strategi pengendalian penyakit seringkali gagal untuk mengetahui kendala yang ada di antara petani, layanan kesehatan hewan, dan pelaku rantai nilai lainnya,” jelasnya.
Menurutnya, peran dan tugas dokter hewan sangatlah penting dalam pembangunan sektor kesehatan hewan. Tanpa adanya keterlibatan para dokter hewan secara langsung, maka dipastikan pembangunan di sektor Kesehatan hewan akan terbengkalai. Oleh karena itu, Bambang Sumiarto berpendapat diperlukan penguatan persyaratan World Organisation for Animal Health (WOAH) di Indonesia untuk memenuhi filosofi kesehatan hewan Indonesia. Beberapa persyaratan tersebut adalah adanya Badan Penentu Status Veteriner (Veterinary Statutory Body, VSB).
UU Kesehatan Hewan yang komprehensif mengelola hewan di semua matra (air, darat, dan udara), UU Pendidikan Kedokteran Hewan dan Standar Nasional Pendidikan Kedokteran Hewan, perubahan sektor kesehatan hewan menjadi Urusan Pemerintah Wajib, dan penguatan UU Pendidikan Kedokteran Hewan dan UU Kesehatan Hewan yang komprehensif mengelola kesehatan hewan. “Persyaratan WOAH sebagai landasan filosofi kesehatan hewan akan terimplementasikan dengan baik di Indonesia jika Badan Otoritas Veteriner (BOV) kuat,” katanya.
Bambang menuturkan upaya untuk membentuk Badan Otoritas Veteriner dan mengupayakan persyaratan WOAH harus terus diperjuangkan oleh insan dokter hewan. Dalam rentang waktu jangka pendek persatuan dokter hewan dapat memenuhi persyaratan WOAH tahap demi tahap dan dalam jangka panjang perlu memperjuangkan secara konsisten perubahan sektor kesehatan hewan menjadi urusan pemerintah dengan pembentukan Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan dengan menyingkirkan ego sektoral masing-masing institusi.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, Dr. drh. Muhammad Munawaroh, MM., mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti masukan dari Prof Bambang Sumiarto untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah badan otoritas veteriner yang kuat di Indonesia. Ia pun sepakat jika pemerintah membentuk Dirjen Kesehatan Hewan setara eselon 1 yang bertugas menangani persoalan penyakit menular dan peningkatan kesehatan hewan. “Selama ini problem kita terkait penanganan penyakit menular dari hewan ditangani oleh dua Kementerian,” katanya.
Dari pengalamannya dalam mengikuti pertemuan internasional organisasi perhimpunan dokter hewan, Munawaroh mengakui bahwa Indonesia dianggap masih lemah komitmennya untuk ikut penanganan penyakit menular infeksi baru karena belum terbentuknya Badan Penentu Status Veteriner atau Veterinary Statutory Body (VSB). “Dalam pertemuan internasional kadang kita malu ditanya kenapa belum belum ada VSB. Kita akan memperjuangkan terbentuknya VSB ini,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson