Pengesahan RUU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 lalu sempat menimbulkan perdebatan panjang. Butir-butir dalam UU Ciptaker banyak menuai protes dari kalangan buruh, mahasiswa, dan masyarakat luas. Isu tersebut diulas dalam seri Serasehan Demokrasi Volume 2 berjudul “Tarik-Ulur Regulasi Cipta kerja dalam Proyek Investasi Nasional” pada Selasa (28/2) di Seminar Timur Gedung BG Fisipol UGM.
“Negara kalau melakukan fungsi otoritariannya, itu sudah model dulu. Model sekarang adalah dibuatkan aturan untuk membenarkan represinya itu. Ini yang banyak terjadi di pemerintah saat ini,” ungkap Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M. selaku Ahli Hukum Tata Negara UGM. Ia mengungkapkan banyak praktik pemerintah yang terlalu mengedepankan kooperatif dan menghindari konflik, sehingga lupa bahwa konflik dan kritik itu bagian dari demokrasi. Hal tersebut kemudian menimbulkan degradasi demokrasi, karena siapapun yang melakukan kritik justru disikapi secara kooperatif.
Zainal menambahkan, hilangnya konflik dari sistem tata negara menyebabkan fungsi pengawasan hilang. “Gejala oposisi ini mati. Fungsi pengawasannya tidak ada. Ketika presiden didukung besar oleh parlementernya, maka godaan otoritariannya menjadi tinggi. Kedua, fungsi pengawasan inilah yang kemudian hilang. Ketika badan yang harusnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, itu di domestikasi,” tutur Zainal.
Praktik domestikasi ini menimbulkan banyak dampak terkait hilangnya fungsi pengawasan dan transparansi terhadap pemerintah. Salah satu kasus yang muncul adalah pengesahan RUU Cipta Kerja yang dinilai tidak memiliki unsur transparansi. Substansi dalam undang-undang ini menghilangkan 5 pasal tentang pemberian pesangon, menghilangkan batasan maksimal bagi karyawan kontrak selama 3 tahun, serta penambahan jumlah jam lembur. Perubahan ini diklaim sebagai bentuk penyederhanaan dari undang-undang sebelumnya. Padaha,l dengan adanya penyederhanaan ini, justru semakin memudahkan terjadinya berbagai praktik yang merugikan buruh dan masyarakat.
“Kalau kita lihat kemarin, undang-undang ini ditujukan untuk meningkatkan investasi. Padahal, nilai investasi kita sebenarnya baik-baik saja. Jadi, dulu tahun 2015 itu total investasi kita sekitar 350 sekian triliun. Saat ini mungkin ada di sekitar 900 triliun. Tapi yang menarik untuk kita cermati adalah serapan tenaga kerja. Investasinya naik hampir 3x lipat, tapi serapan tenaga kerja itu menurun drastis,” ucap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Dr. Rangga Almahendra. Fakta ini menimbulkan pertanyaan terkait siapa sebenarnya sasaran dari UU Cipta Kerja ini.
Rangga turut menambahkan, tujuan UU Cipta Kerja yang diklaim untuk memudahkan tumbuhnya bisnis, masih memiliki pertanyaan besar. “Berdasarkan laporan dari World Economic Forum tentang kemudahan bisnis, hambatan paling umum adalah korupsi di nomor satu. Baru kemudian inefisiensi birokrasi, lalu muncul uncertaincy atau ketidakpastian. Adanya ketidakpastian ini dalam ekonomi akan menimbulkan biaya yang lebih besar, dan sangat dibenci oleh investasi sebenarnya,” tambahnya.
Penulis: Tasya