Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Dr. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, SH., LLM., menilai putusan penundaan pemilu 2024 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dianggap keliru, sebab dalam konteks pemilu seharusnya gugatan yang terkait dengan pemilu harus diselesaikan dalam prosedur yang ditetapkan dalam penyelesaian pelanggaran, sengketa proses, sengketa hasil dan pidana pemilu. Tidak boleh masuk ke pengadilan umum atau peradilan lainnya. “Kalau mengganggu sudah pasti. Bahkan, putusan ini berpotensi melanggar konstitusi, sebab dalam Pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 dinyatakan secara tegas bahwa pemilu harus dilakukan 5 tahun sekali,” kata Andi Sandi, Selasa (7/3).
Menurutnya, putusan dari PN Jakarta Pusat ini perlu dikoreksi atau diajukan banding, sebab berpotensi ditundanya pelaksanaan pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari dari jadwal semula. “Konsekuensinya, pelaksanaan pemilu lebih 2 tahun dari ketentuan konstitusi yang menyatakan pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali,” tegasnya.
Dalam kacamata ilmu hukum tata negara, kata Andi Sandi, seharusnya semua sengketa atau pelanggaran terhadap penyelenggaraan pemilu diperlakukan khusus. Kekhususan ini diperlukan karena adanya batasan waktu untuk melaksanakan pemilu. Oleh karenanya, dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah sangat jelas bahwa seluruh sengketa ataupun pelanggaran penyelenggaraan pemilu diatur secara khusus, baik lembaga yang berwenang, proses dan kedudukan putusan dari lembaga yang berwenang. Namun, rupanya masih ada “celah” yaitu terkait dilaksanakan atau tidaknya putusan dari lembaga-lembaga yang berwenang. “Hal inilah yang dimanfaatkan oleh partai Prima. Menurut saya, seharusnya Bawaslu menegur ataupun menindak KPU dengan tidak melaksanakan putusannya secara penuh. Sengketa antar KPU dan Bawaslu itu bisa diselesaikan di DKPP. Dengan demikian, ini masalah pengawasan atau putusan dan kepatuhan atas putusan lembaga yang berwenang,” ujarnya.
Bagi Andi Sandi, semua hal yang terkait dengan pemilu dilarang untuk diajukan ke peradilan selain yang ditentukan dalam UU Pemilu. Selain itu, Bawaslu harus dengan cermat mengawasi setiap putusan yang dikeluarkannya, jika tidak maka gugatan seperti ini pasti akan selalu menjadi kendala dalam proses pelaksanaan pemilu.
Adapun permasalahan gugatan mengenai perbuatan melawan hukum di bidang tindakan pemerintahan merupakan kewenangan PTUN bukan PN. Sesuai dengan PerMA No.2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan. Adapun pemerintahan di sini dimaknai luas sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Yang dimaknai pemerintah termasuk kekuasaan eksekutif, legislatif, dan pejabat negara lainnya. “Jadi termasuk juga KPU. Dengan ketentuan ini, seharusnya putusan PN Jakarta Pusat itu bukan kewenangannya untuk mengadili sehingga putusannya perlu diajukan banding dengan mendasarkan pada ketentuan Peraturan MA ini. Dengan mendasarkan memori banding pada ketentuan Peraturan MA, sangat besar kemungkinan putusan PT Jakarta akan membalik putusan PN Jakarta Pusat,” paparnya.
Namun yang sangat disayangkan dalam eksepsi maupun pembelaan dari kuasa hukum KPU dalam perkara ini, imbuhnya, mereka tidak menggunakan Peraturan MA ini dalam proses pembuktian gugatan partai prima. “Jadi hakimnya terbawa dengan alur penggugat,” terangnya.
Meski yang menjadi pihak tergugat adalah KPU, namun menurutnya posisi pemerintah bisa menjadi sebagai pemohon banding sebab putusan PN Jakarta itu bisa mengakibatkan terganggunya kewajiban pemerintah, khususnya mengenai batasan waktu masa jabatan pemerintahannya. “Namun posisi pemerintah, bukan sebagai pemohon banding prinsipal tapi sebagai pihak terkait,” jelasnya.
Seperti diketahui, putusan penundaan pemilu ini berawal dari gugatan partai Prima merasa dirugikan karena dinyatakan tidak lolos dalam proses verifikasi administrasi yang dilaksanakan oleh KPU. Menurut penggugat, putusan KPU yang tidak meloloskan partai Prima sebagai peserta pemilu 2024 diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum sehingga diajukan ke Pengadilan Negeri, bukan ke Bawaslu atau PTUN. Namun begitu, objek gugatan ke PN Jakarta Pusat ini bukan soal keputusan KPU yang tidak meloloskan partai Prima, namun karena KPU tidak melaksanakan putusan ajudikasi Bawaslu secara total. Argumen ini diterima oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat sebagai perbuatan yang melanggar hukum sehingga menerima seluruh petitum dari partai Prima.
Penulis: Gusti Grehenson
Foto : KPU RI