Rekening eks pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Rafael Alun Trisambodo (RAT), dan puluhan lainnya diblokir. Salah satu tujuan pemblokiran ini adalah untuk mencegah penarikan uang tunai dalam jumlah besar.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) telah melakukan pemblokiran rekening seorang konsultan pajak. Ketua PPATK, Ivan Yustiavanda, menyebut rekening konsultan pajak tersebut diblokir lantaran diduga menjadi perpanjangan tangan dugaan tindakan pencucian uang eks pejabat Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo.
Menanggapi fenomena tersebut, Pakar Ekonomi UGM, Rijadh Djatu Winardi, SE., M.Sc., Ph.D., CFE mengungkapkan tindak pencucian uang atau money laundering adalah tindakan yang dilakukan untuk menyembunyikan sumber uang atau kekayaan yang didapatkan secara ilegal agar terlihat seolah-olah berasal dari sumber yang sah dan legal. Umumnya pencucian uang dilakukan dalam tiga tahapan yakni placement, layering, dan integration.
Riri menyebut ada empat kemungkinan pelaku melakukan tindak pencucian uang. Pertama mereka yang melakukan tindak pidana kemudian mencuci hasil tindak pidana tersebut. Tindak pidana tersebut disebut sebagai “tindak pidana asal” dan mereka yang melakukan tindak pidana asal dengan mencuci uangnya sendiri.
Kedua, mereka yang melakukan tindak pidana asal, mencuci uangnya sendiri, dan juga mencuci hasil kejahatan lain. Ketiga, mereka yang menjalankan bisnis yang tidak melakukan tindak pidana asal, tetapi mencuci hasil kejahatan orang lain sebagai bagian dari bisnis mereka yang sah. Keempat, mereka yang mencuci hasil kejahatan orang lain sebagai satu-satunya kegiatan bisnis mereka.
“Bentuk pencucian uang yang umum disebut smurfing atau istilah lainnya adalah structuring. Maksud smurfing atau structuring adalah tindakan pelaku kejahatan memecah sejumlah besar uang tunai menjadi beberapa simpanan kecil, seringkali menyebarkannya ke banyak akun berbeda untuk menghindari deteksi,” katanya di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Jumat (10/3).
Riri mengungkapkan modus lain pencucian uang ada banyak, misalnya penggunaan perusahaan cangkang. Perusahaan cangkang adalah perusahaaan tanpa operasi aktif atau aset yang signifikan dan perusahaan ini digunakan untuk menyembunyikan dana hasil kejahatan.
“Modus lain adalah pencucian lewat perdagangan, pembelian surat berharga seperti saham, obligasi, dan barang mewah hingga aset digital seperti mata uang kripto,” ucapnya.
Riri mengakui sampai saat ini memang belum ada pedoman besaran uang untuk bisa dikatakan sebagai tindakan pencucian uang. Hanya dalam konteks monitoring pencucian uang di UU TPPU ditemukan adanya istilah transaksi mencurigakan yang wajib dilaporkan oleh penyedia jasa keuangan.
Adapun nilai nominal untuk dapat dikategorikan sebagai transaksi mencurigakan adalah 500.000.000. Salah satu definisi dari transaksi mencurigakan adalah transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Jumlah ini, menurut Riri, hanya sebagai panduan untuk pelaporan transaksi bukan panduan penentuan apakah transaksi tersebut sebagai TPPU atau bukan. Untuk dapat dikategorikan sebagai transaksi mencurigakan masih perlu diuji lagi apakah benar sebagai transaksi yang berkaitan dengan tindakan pencucian uang.
Riri berpandangan pencucian uang tidak akan terjadi tanpa ada tindak kejahatan awal. Untuk itu esensi dari pencucian uang selalu berkonotasi sebagai tindak kejahatan dan pencucian uang sebagai jalan suatu kejahatan persisten terus terjadi.
Bagaimanapun pelaku tindak kejahatan memakai pencucian uang untuk menghindari dirinya dihubungkan dengan kejahatan yang menimbulkan hasil pidana. Karenanya mereka selalu berusaha melakukan tindakan pencucian uang agar bisa menggunakan uang hasil kejahatannya.
Oleh karena itu, sebagai upaya untuk bisa mendeteksi sebagai sistem pencegahan dapat dilakukan melalui monitoring transaksi mencurigakan. Hal ini telah dilakukan di banyak sektor, seperti perbankan dimana pihak bank secara aktif melakukan pengamatan adanya transaksi mencurigakan.
Selain adanya kewajiban Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, menurut Riri, adanya perluasan pihak pelapor akan mempersempit kemungkinan tindakan pencucian uang. Sayangnya hal semacam ini masih sebatas mekanisme transparansi belum menjadi mekanisme akuntabilitas dimana ada proses penilaian kebenaran apa yang dilaporkan.
“Kita juga berharap profesi-profesi lain, seperti akuntan, notaris, advokat, dan lainnya memiliki kewajiban untuk melaporkan transaksi mencurigakan yang melibatkan klien-klien mereka. Sayangnya, ada juga profesi yang belum masuk yang sebenarnya berkewajiban melaporkan transaksi mencurigakan, salah satunya adalah konsultan pajak,” terangnya.
Riri mengakui Indonesia sudah memiliki regulasi pencucian uang seperti Undang-undang (UU) No. 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu ada beberapa regulasi lain di sektor keuangan seperti Surat Edaran OJK Nomor 32-SEOJK.03-2017 tentang Penerapan Program APU PPT di Sektor Perbankan dan banyak surat edaran lain.
Ada juga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 100/PMK.04/2018 dan nomor 81/PMK.04/2021 mengenai penanganan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Banyak pihak terlibat dalam upaya pencegahan tindakan ini dan tergabung dalam rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pihak-pihak tersebut misal PPATK, Bank Indonesia, OJK, KPK, dan pihak-pihak lain termasuk pihak pelapor seperti perbankan.
“Sesungguhnya sudah ada usaha untuk mempersempit kesempatan tindak pencucian uang. Sayangnya belum sempurna terutama di tahapan pelaksanaan,” jelasnya.
Dia menandaskan dalam konteks keterlibatan penyelenggara negara dalam pencucian uang, masyarakat awam sesungguhnya bisa berperan. Setidaknya mereka bisa menjadi pihak pendorong akuntabilitas lewat pengawasan kebenaran laporan harta kekayaan dengan informasi informal, misalnya melalui media sosial.
“Eskalasi isu aset-aset yang dimiliki, misal berbeda dengan apa yang dilaporkan bisa menjadi kontrol sosial yang bagus. Tentunya ini bisa dilakukan dengan memperhatikan aspek UU ITE jangan sampai justru melanggar privasi,” himbaunya.
Kementerian Keuangan dalam pandangan Riri bisa berperan lebih dengan melakukan pengawasan prioritas kepada penyenggara negara yang memiliki risiko tugas dan wewenang strategis atau rentan terlibat KKN. Misalnya pengawasan prioritas untuk mereka yang bertugas di pemeriksa pajak, pemeriksa bea dan cukai, dan pejabat yang mengeluarkan perizinan.
“Pengawasan prioritas kepada mereka yang memiliki jumlah kekayaan besar dan ada kenaikan harta signifikan. Berikutnya dengan melihat modus pencucian uang yang diduga dilakukan dan jika didapati bukti maka bisa dilakukan perluasan peran reporting entity,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Bisnis.com