Penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 merupakan kegiatan yang digelar dalam rangka menjaga keberlangsungan demokrasi dan terbentuknya pemerintahan yang demokratis sesuai dengan Undang-Undang 1945. Memasuki tahun politik menjelang penyelenggaraan Pemilu, media sosial telah disuguhi aneka macam berita terkait pencalonan, kampanye hingga munculnya isu penundaan Pemilu.
Maraknya berbagai berita soal politik tetap saja menjadikan sebagian besar masyarakat belum paham esensi Pemilu dan bagaimana mencapai proses demokrasi yang ideal. Merespons isu tersebut, Center for Digital Society berkolaborasi bersama Perludem melalui serial perdana Desus perlu menyosialisasikan pemahaman mengenai Pemilu 2024 dengan berbagai pernak-perniknya kepada publik.
Dalam kegiatan perdana DESUS (Digital and Election Issues) atau DESUS #1 menghadirkan pembicara Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Direktur Eksekutif Perludem. Dalam diskusi yang berlangsung hari Jumat (17/3) hadir juga Heroik M. Pratama, peneliti Perludem selaku pemandu dan Iradat Wirid, peneliti CfDS sebagai Host.
Transformasi Digital Pemilu 2024
Khoirunnisa Nur Agustyati membuka diskusi dengan menjelaskan mengenai kerangka hukum yang sama di Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019, yakni UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pilkada mengacu pada UU No. 10 Tahun 2016 (UU No 6 Tahun 2020). Meskipun dalam kerangka hukum yang sama, menurutnya, terdapat perbedaan mendasar yaitu adanya transformasi digital yang menjadikan teknologi rekapitulasi suara sebagai kebutuhan utama agar tidak terjadi pergeseran suara.
“Karena kita tahu rekapitulasi manual membutuhkan waktu 35 hari setelah Pemilu berlangsung. Soal transformasi digital ini telah menjadi perhatian KPU dengan tujuan agar terjadi transparansi kepada publik lewat Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL), aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH), dan sebagainya,” ujar Khoirunnisa.
Khoirunnisa melihat Pemilu 2024 akan diwarnai oleh hadirnya para pemilih baru yang erat kaitannya dengan keberadaan sosial media. Oleh karena itu, melalui platform inilah informasi-informasi mengenai Pemilu hingga kampanye akan didistribusikan.
Meski begitu, dia mengakui belum ada mitigasi risiko-risiko di media sosial. Resiko-resiko seperti disinformasi dan transparansi sehingga diperlukan penanganan serius utamanya terkait penangkalan disinformasi.
Peningkatan Literasi Digital sebagai Solusi
Hadirnya platform media sosial sebagai sumber informasi terkait Pemilu tidak menutup kemungkinan munculnya kesimpangsiuran (disinformasi), hoax dan lain-lain. Polarisasi melalui media sosial dinilai akan menjadi tantangan terbesar Indonesia di era Pemilu.
Oleh karena itu, menurut Khoirunnisa diperlukan solusi mengikat untuk mendorong adanya ekosistem digital yang demokratis, berupa literasi digital. Untuk meningkatkan literasi digital ini memerlukan sistematika pemberantasan konten terkait penyebaran informasi.
“Perlu juga forum diskusi yang mampu menggaet semua pihak terkait de-bunking dan pre-bunking, kolaborasi bersama masyarakat sipil dengan platform media sosial, menganalisis disinformasi di Pemilu 2024, dan sistem pelaporan hoax yang jelas,” terangnya.
Khoirunnisa menuturkan hal terpenting dari Pemilu 2024 adalah partisipasi dari pemilih yang mampu secara cerdas memilih informasi saat kampanye berlangsung. Harus memahami betul terkait narasi-narasi yang akan memecah belah dan menjatuhkan.
“Hal-hal semacam ini tentunya akan menjadi clue utama dalam mengidentifikasi. Politik identitas menjadi mobilisasi politik untuk membangun sentimen emosional dikhawatirkan menjadikan pemilih muda sebagai komoditas politik akan terombang-ambing kepada kandidat tertentu. Oleh karena itu, kita harus cerdas bisa menganalisis hal semacam ini,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho