JOGJA (KU) – Proses inundasi (genangan air) menjadi faktor penyebab percepatan laju perkembangan permukiman kumuh. Di Kota Semarang, perkembangan permukiman kumuh dari tahun ke tahun memperlihatkan penambahan yang signifikan. Perkembangan permukiman kumuh di ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini disertai dengan semakin bertambahnya areal permukiman. “Permukiman yang terkena inundasi di Kota Semarang mencapai 47,68 persen,” kata Drs. Moh. Gamal Rindarjono, M.Si., dalam ujian promosi doktor pada Program Studi Geografi, Sabtu (5/6).
Menurut staf pengajar Jurusan Geografi UNS ini, fenomena inundasi di Kota Semarang terjadi pada saat musim hujan. Inundasi di kota ini tidak hanya disebabkan oleh bentuk lahan yang relatif rendah, tetapi juga direklamasinya daerah kantong-kantong air. Hal itu diperburuk lagi dengan sistem drainase kota yang mengikuti aliran kali Semarang.
Dikatakan Gamal, terjadinya permukiman kumuh pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yakni proses penuaan dan proses pemadatan. Di Indonesia, pada umumnya proses permukiman kumuh berlangsung akibat proses penuaan. Proses penuaan ini terjadi karena bertambahnya usia bangunan yang berakibat adanya kerusakan bangunan. “Dari hasil penelitian saya di Semarang, sangat kecil ditemukan kerusakan struktur bangunan akibat proses penuaan,” imbuhnya.
Disebutkannya bahwa di daerah pusat kota Semarang, kerusakan bangunan mayoritas disebabkan proses penuaan. Sementara itu, di daerah pinggiran kota, kerusakan didominasi adanya inundasi. Terbentuknya genangan air di pinggiran Kota Semarang lebih disebabkan oleh adanya reklamasi penimbunan rawa dan sungai. Hal ini berdampak pada pengaturan arus sungai menjadi kurang lancar dan penurunan muka air tanah. “Saat musim hujan, airnya ke mana-mana, akhirnya menuju ke permukiman yang membangun rumah di daerah reklamasi ini,” kata Gamal seraya mengatakan inundasi menyebabkan 54,3 persen permukiman menjadi kumuh.
Disampaikan pria kelahiran Purwokerto, 3 Agustus 1964 ini, perkembangan permukiman kumuh di Kota Semarang semakin memperlihatkan kondisi kualitas lingkungan yang semakin menurun. Hal itu ditandai dengan kondisi fasilitas umum dari tahun ke tahun yang semakin berkurang dan tidak memadai. Berikutnya, makin tingginya wabah penyakit seperti demam berdarah, diare, dan penyakit kulit. (Humas UGM/Gusti Grehenson)