Dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya agar Indonesia memiliki sumber energi murah untuk menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Hal ini nampaknya memang perlu ditekankan mengingat tingginya konsumsi energi dalam negeri dari sumber energi yang belum sustainable.
Menurut pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, MBA., kemungkinan yang dimaksud Presiden Jokowi bukan energi murah, tetapi energi tersedia dan terjangkau, yang mengarah pada energi baru terbarukan (EBT), bukan energi fosil.
“Alasannya, energi fosil selain energi kotor, juga ketersediannya sudah semakin habis dan tidak bisa diperbaharui (unrenewable),” ungkapnya di Kampus UGM, Rabu (29/3).
Fahmi berpendapat dalam mencapai ketersediaan EBT, Indonesia sesungguhnya memiliki resources yang berlimpah, diantaranya Biothermal, Biomass, Biofuel, Tenaga Surya, Tenaga Angin, Micro Hydro. Energi Gelombang Laut, Energi Pasang Surut, Fuel Cell. Energi Sampah, dan Energi Nuklir.
Hanya saja permasalahan yang dihadapi, Indonesia tidak memiliki teknologi untuk mengembangkan EBT yang sumbernya melimpah. Sebagai contoh apa yang telah dilakukan oleh Pertamina selama ini.
“Pertamina sudah mengembangkan biodiesel meski hanya sampai B-35, sedangkan untuk mencapai B-100 Pertamina harus bekerja sama dengan investor asing pemilik teknologi,” ucapnya.
Demikian pula dengan pengembangan gasifikasi yang mengubah energi kotor batubara menjadi energi bersih gas. Produk gasifikasi akan menggantikan LPG yang impor dan subsidi contents sangat tinggi. Sayangnya, proyek gasifikasi tersebut mandeg saat Perusahaan Amerika Serikat Air Product hengkang dari konsorsium bersama Pertamina.
Fahmi menandaskan dalam kontek ketersediaan dan keterjangkauan energi sangat tepat bila dalam bidang pendidikan pemerintah memberikan penekanan atau perhatian besar pada Pendidikan Vokasi. Hal ini seiring dengan keinginan Presiden Jokowi, selain meminta ada strategi besar terkait ketersediaan dan keterjangkauan energi, dirinya berharap RPJN 2025-2045 memberikan penekanan pada Pendidikan Vokasi.
Menurut Fahmi penekanan tersebut sangat tepat. Pasalnya, Pendidikan Vokasi dapat mengatasi permasalahan ketersediaan teknologi dan inovasi yang dibutuhkan untuk pengembangan EBT di Indonesia. Pendidikan Vokasi yang lebih menekankan pada pengembangan teknologi terapan akan sangat tepat dalam pengembangan teknologi EBT.
“Mengingat RPJPN 2025-2045 merupakan rencana jangka Panjang, siapa pun Presiden terpilih harus melanjutkan pengembangan ketersediaan dan keterjangkau energi yang ditopang SDM lulusan Pendidikan vokasi untuk memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Freepik.com