Angkatan muda akan turut meramaikan pesta demokrasi Indonesia 2024. Banyaknya persebaran hoaks, disinformasi, dan misinformasi menjadi permasalahan besar di kalangan para pemilih muda.
Kondisi ini tentunya menjadi perhatian besar banyak pihak. Para pemangku kebijakan pun dituntut bisa mencarikan solusi atau jalan keluar untuk memitigasi risiko yang terjadi terutama apa yang berlangsung di media sosial.
Melihat kondisi tersebut Center for Digital Society (CfDS) bersama IDN Times tergerak menyelenggarakan Digitalk X GenZ bertema Pengaruh Media Sosial terhadap Pilihan Gen Z di Pemilu 2024. Digitalk X GenZ digelar untuk memberikan pemahaman soal sikap dan langkah yang harus diambil generasi muda pada pemilu di tahun 2024.
Digitalk X GenZ menghadirkan pembicara Hamdan Kurniawan selaku Ketua KPU DI Yogyakarta, Gielbran M. Noor, Ketua BEM KM UGM, dan Amelinda Pandu, peneliti CfDS UGM, dan Paulus Risang, Editor IDN Times Jogja selaku moderator.
Hamdan Kurniawan mengatakan KPU telah melakukan transformasi untuk persiapan penyelenggaraan Pemilu 2024, diantaranya penggunaan teknologi melalui pemakaian website yang telah disediakan antara lain penyediaan form SIPOL yang digunakan untuk pendaftaran dan verifikasi partai politik dan calon peserta pemilu.
Dia menambahkan pada penyelenggaraan pemilu tahun 2024, KPU Yogyakarta telah meminta institusi pendidikan di Yogyakarta untuk mendata pelajar dan mahasiswa yang ada di Yogyakarta. Dengan data tersebut, mereka bisa berpartisipasi dalam pemilu dengan melakukan pemilu lewat TPS di lokasi khusus tanpa harus pulang ke daerah masing-masing.
“Pemilih pemula ini diharapkan menjadi pemilih yang rasional, mandiri, dan bertanggung jawab sehingga dapat merajut nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi,” ungkap Hamdan, Rabu (12/4).
Gielbran M. Noor menyoroti terkait perbaikan kaderisasi partai dengan memfokuskan pada value calon peserta pemilu alih-alih pada area materialistis sehingga dengan ini akan dapat menaikan persentase kepercayaan publik.
“Fokus dari kontestan politik adalah untuk menjawab permasalahan regionalnya karena setiap regional punya permasalahannya masing-masing yang kuncinya dipegang oleh calon peserta pemilu,” jelas Gielbran.
Menurutnya, tidak hanya di partai politik dan calon peserta pemilu, publik pun diharapkan bisa mendapatkan literasi dengan baik terkait pemilu. Literasi politik yang dilakukan selama ini, menurutnya, hanya sebatas waktu dan teknis pemilihan.
“Padahal terkait literasi politik ini juga termasuk soal ketahanan pemilih terhadap intimidasi dan bujukan transaksional yang tidak sehat. Literasi politik perlu diberikan secara cerdas, harusnya semua bisa dilakukan melalui media sosial, jangan sampai hanya fokus pada cara-cara konvensional,” terangnya.
Amelinda Pandu menambahkan melalui literasi politik yang cerdas tentunya akan menghasilkan pemilih pemula yang paham akan perannya. Ada dua peran yang bisa dimainkan oleh para pemilih pemula, pertama mereka bisa mengawal pemilu dengan turut aktif mengedukasi orang sekitar tentang hoaks, disinformasi dan misinformasi serta aktif terlibat melaporkan konten berbahaya. Kedua, para pemilih pemula berperan menjaga untuk tidak lengah dan terbawa arus dengan tidak turut menyebarkan konten berbahaya lewat media sosial masing-masing.
“Saya kira pemilih pemula juga harus memperhatikan akun media sosial pelaksana dan peserta kampanye, iklan kampanye, dan konten berbahaya yang membawa ke tindakan kebencian. Sebagai pemilih pemula harus menerapkan digital culture, yakni kemampuan membaca dan membangun wawasan kebangsaan, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika di kehidupan sehari-hari,” jelas Amelinda.
Penulis : Agung Nugroho