Diskusi panel bertajuk “Problematika Moral Jagat Media Sosial Indonesia” digelar pada malam Kamis (14/4) setelah tarawih rutin di Masjid Kampus UGM. Diskusi kali ini mengundang Najwa Shihab, S.H., L.L.M dan dosen ilmu komunikasi, Nyarwi Ahmad, Ph.D sebagai pembicara utama.
Menjelang tahun politik, jagat media sosial diperkirakan akan gencar oleh hoaks dan ujaran-ujaran kebencian. Fenomena ini sering terjadi di tahun-tahun sebelumnya, dan dimaknai sebagai tanggapan ekspresif dari masyarakat terhadap kondisi politik Indonesia. Sayangnya, seringkali ujaran-ujaran tersebut bukanlah kritikan yang membangun, namun ujaran kebencian dan hoaks yang justru menggiring opini masyarakat. Hal ini dinilai mengkhawatirkan karena hampir 188 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna media sosial. Artinya, pengaruh ujaran dan hoaks menjadi luar biasa karena jangkauannya yang luas.
“Setiap negara pasti ada tantangan, soal hoaks, virus dusta, pornografi, penyebaran data-data pribadi, itu semua tantangan di semua negara. Cuma karena habit digital kita, karena kita suka ngobrol, tantangan itu menjadi lebih besar di Indonesia,” ucap Najwa. Ia menambahkan, media sosial pada dasarnya paling mudah mengakomodasi amarah dari penggunanya. Kemunculan tantangan tersebut sebenarnya berasal dari hal-hal sederhana, berupa atensi dan empati. Beberapa bentuk “amarah” masyarakat memang memiliki arah yang jelas, seperti gerakan perubahan dan reformasi. Tapi akhir-akhir ini, semakin banyak kemarahan masyarakat yang tidak memiliki alasan dan tujuan yang jelas.
Regulasi terkait hoaks dan ujaran kebencian memang mulai diterapkan oleh pemerintah. Tapi tetap saja sulit bagi masyarakat untuk hanya bergantung pada regulasi yang ada. “Kalau pengawalan ini kita bicarakan dalam konteks mengikuti perkembangan teknologi, pasti nggak akan pernah bisa dikejar. Teknologi itu cepat sekali, belum selesai kita beradaptasi, sudah muncul teknologi yang baru,” tutur Najwa. Bukan hanya proses politik dalam regulasi tersebut, namun juga bagaimana regulasi tidak sepenuhnya bisa menjangkau perubahan-perubahan masyarakat dalam teknologi. Problematika ini menuntut masyarakat sebagai penggunalah yang harus mengasah kecerdasan dan kebijakan dalam menggunakan teknologi digital.
Najwa menegaskan, masyarakat diimbau untuk tetap berhati-hati dalam memilah konten, baik konten negatif maupun positif. “Bisa jadi propaganda. Hari-hari ini kita melihat banyak konten-konten pencitraan di tengah masyarakat. Itulah kenapa kita harus selalu skeptis dan mempertanyakan, jangan langsung disebar juga, bahkan terhadap konten positif sekalipun,” kata Najwa. Ia juga menjelaskan, cara paling mudah, ampuh, dan murah untuk meningkatkan kecerdasan digital adalah membaca. Orang yang membaca cenderung memiliki tahapan kritis sebelum memberikan pernyataan.
Pernyataan Najwa tersebut turut diamini oleh Nyarwi sebagai ahli komunikasi di bidang media. Kritik yang disampaikan dengan bukti, data, dan argumen yang kuat harusnya bisa menjadi aspek pendukung demokrasi di Indonesia. “Demokrasi tidak bisa jalan tanpa demokrasi. Ada hal yang kadang belum disadari oleh elite kita, yaitu tanggung jawab elit dalam mengelola demokrasi. Termasuk menerima kritik, mengolah kritik, dan mencari solusi atas kritik itu tanggung jawab mereka. Jadi kebebasan berbicara dan kritik harusnya tidak perlu ditakutkan,” ucap Nyarwi.
Nyarwi mengungkapkan, peradaban saat ini menjadikan media sebagai spiral utamanya, khususnya media sosial. “Kita saat ini tidak hanya hidup dengan media, tapi kita hidup di dalam media, bahkan menjadi media itu sendiri,” ungkap Nyarwi. Masyarakat saat ini tidak terlepas dari adanya media, dan media hidup karena adanya masyarakat. Itulah kenapa kebiasaan masyarakat di media sosial perlu diperhatikan, agar tercipta lingkungan digital yang sehat.
Penulis: Tasya
Foto: Firsto