UGM patut berbangga, sepuluh mahasiswanya berkesempatan menunjukkan kemampuan berdiplomasi dalam Harvard World Model United Nations (HWMUN) 2010 yang digelar di Taipe, Taiwan, pada 13-19 Maret lalu. Mereka terdiri atas tujuh mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) angkatan 2007, yakni Mohammad Mirza Anugerah, Taufik Bagus Murdianto, Anwar Setyawan, Steffi Stephannie, Glenda Arunthy, Rosalina Chandra Bestari, dan Ivan Triyogo Priambodo; dua mahasiswa Fakultas Hukum ialah Gabriella Viorena dan Anniza Dwi Laksmi Pratiwi; serta seorang mahasiswa Fisipol, Lizta Permata Nurwati.
HWMUN merupakan sebuah simulasi sidang resmi PBB yang ditujukan untuk melatih mahasiswa melakukan lobi dan negosiasi seperti saat sidang PBB berlangsung. HWMUN diselenggarakan oleh Harvard University bekerja sama dengan PBB. Kegiatan ini telah dilaksanakan sejak 1992. Kali ini, lebih dari 2.000 mahasiswa yang berasal dari 48 negara dan 200 universitas di seluruh dunia tercatat sebagai peserta. Selain UGM, Indonesia juga diwakili oleh Universitas Indonesia, Universitas Parahyangan, dan Universitas Padjadjaran. Tahun ini, keikutsertaan mahasiswa UGM merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya, sebagai delegasi pertama, UGM mengirimkan 11 mahasiswa dalam HWMUN 2009 yang digelar di Den Haag, Belanda.
Selaku kepala delegasi kali ini, Mohammad Mirza Anugerah mengatakan untuk mengikuti HWMUN tidak dilakukan seleksi dari pihak universitas seperti pada Harvard National Model United Nation (HNMUN). Mereka terpilih sebagai delegasi dalam ajang bergengsi itu karena bergabung dengan komunitas di Fakultas Hukum yang mereka sebut KOMUN. KOMUN merupakan komunitas yang dibentuk oleh mahasiswa Fakultas Hukum pada akhir tahun 2008. Komunitas tersebut mewadahi mahasiswa yang memang memiliki minat untuk dapat mewakili UGM dalam HWMUN. “Dalam KOMUN, kami banyak berlatih tentang cara berbicara, melakukan lobi, serta negosiasi. Seolah-olah kami sudah berhadapan dengan perwakilan dari berbagai negara,†terangnya, Kamis (10/6), di FEB UGM.
Berbagai persiapan menghadapi HWMUN telah dilakukan sejak akhir November 2009. Di samping rutin berdiskusi, membuat esai, dan melakukan simulasi setiap minggunya, mereka juga dibimbing oleh mahasiswa-mahasiswa yang telah mengikuti HWMUN pada tahun sebelumnya. Walaupun persiapan secara materi dan mental dirasa cukup, mereka belum dapat berlega hati. Bayang-bayang kegagalan menuju ajang simulasi sempat menghadang karena masalah pendanaan. Namun, pada akhirnya Eka Tjipta Foundation bersedia membiayai keberangkatan ke Taipe. “Kami cukup kesulitan dalam mendapatkan sponsor guna membiayai keberangkatan ke Taipe. Dari pihak fakultas maupun universitas sendiri kurang begitu ramah dalam hal finansial. Semoga untuk ke depannya mereka bisa lebih mengapresiasi setiap delegasi dari UGM yang maju ke HWMUN,†harapnya.
Lebih lanjut dikatakan Mirza bahwa dalam konferensi, setiap delegasi dari berbagai negara diposisikan sebagai perwakilan dari negara lain. Dalam kesempatan tersebut, delegasi UGM berperan sebagai perwakilan dari Bulgaria dan berpartisipasi dalam lima komite, yaitu Legal Committe, Historical General Assembly, Special, Political and Decolonialization Committe, Social Cultural and Humanitarian Committe, dan Disarmamet and International Security Committe. Pada masing-masing komite dibahas tema yang telah diberikan oleh panitia dan berupaya mencari sebuah resolusi bagi perdamaian dunia.
Saat disinggung tentang alasan ketertarikan mengikuti HWMUN, Mirza berkata, “Pada awalnya, saya tidak begitu tertarik karena kurang relevan dengan jurusan saya, Akuntansi. Namun, setelah mendengar cerita dari delegasi pertama UGM di HWMUN 2009, saya menjadi tertarik untuk mengikuti kegiatan ini. Ternyata, apa yang saya bayangkan sangat jauh berbeda dengan apa yang telah saya jalani. Kegiatan ini benar-benar prestisius. Pengalaman yang saya dapatkan pastinya tidak akan terlupakan.â€
Sementara itu, Glenda Arunthy mengaku dengan keikutsertaan di HWMUN, dirinya mendapatkan tambahan pengetahuan dalam melakukan negosiasi serta melobi. “Dari acara ini, saya mendapat tambahan soft skill tentang bagaimana cara melakukan negosiasi dengan orang-orang dari berbagai karakter, ideologi politik, budaya, dan agama yang berbeda-beda,†pungkasnya. (Humas UGM/Ika)