Oleh Dr. Ridi Ferdiana, S.T., M.T.
Melihat UGM dari kejauhan terutama dari atas langit mengundang banyak tanya, kemegahan ini akankah bertahan lama? Fisik tentu akan melapuk seperti badan kita yang mulai meremuk akibat lika-liku kehidupan. Namun apapun itu, jangankan institusi sebesar UGM, diri kita yang kecil juga menginginkan sesuatu yang disebut dengan legacy. Penelitian membahas bagaimana diri kita, pemikiran kita, dan hasrat kita dapat disimpan dalam kerangka pemikiran yang luas layaknya kecerdasan Chat GPT. Kenyataan itu makin dimungkinkan dengan komputasi awan yang sudah mendarah daging laksana melodi keseharian yang tak pernah tumbang. Kebiasaan kita menyimpan berkas, bercakap di platform pesan instan, bepergian ke soto favorit kita, hingga membalas surel mengarah pada kepastian pengetahuan yang luas yang tersimpan di sana. Teknologi mulai mengenal saya bahkan melebihi kesadaran emosional saya.
Dinamika kehidupan yang tetap membuat pribadi kita terpola, semua terekam dan terlacak. Big data pribadi kemudian oleh machine learning dilatih dan diletakkan di komputasi cloud, dan akan melahirkan pribadi yang baru dalam bentuk metafisika. Mahasiswa bimbingan tak perlu menunggu saya membalas email saya karena pribadi metafisika itu akan menjawab seperti saya. Mitra kerja dapat berdiskusi dengan saya kapan saja selama 24 jam tanpa harus menunggu saya membalas, dan yang terpenting orang yang mengasihi kita dapat tetap bercakap dengan kita walau secara hayat kita sudah tidak lagi berada di dunia. Sebuah ilusi fiksi yang lambat laun menjadi nyata.
Satu dekade yang lalu salah satu media sosial dengan percaya diri mengusulkan model ‘afterlife’, sebuah pendekatan perawatan media sosial secara otomatis pada saat pemiliknya meninggal dunia. Ketika banyak kolega dan juga keluarga mengatakan RIP (Rest in Peace) maka akun sosial media tersebut berubah menjadi kecerdasan buatan. Sesekali dia akan menyampaikan pos untuk memberikan pengingat tentang dirinya dan teman-temannya, bahkan mengungkapkan jawaban berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masa lalu. Jika kecerdasan buatan tidak berbentuk tersebut kemudian diberi tempat dengan nama metaverse, maka lengkaplah sudah legacy virtual seseorang dalam bentuk pengetahuan digital dan visual yang virtual.
Semua rahasia dari kecerdasan buatan tentu adalah data, data yang baik, data yang tersimpan, dan data yang secara rutin diperbarui. Pertanyaannya bagaimana data tersebut bisa begitu baiknya sehingga menghasilkan kecerdasan buatan yang brilian di lingkungan Universitas Gadjah Mada?
Data Driven Culture
Jangan pernah bermimpi memiliki sistem informasi yang andal tanpa dasar data yang kuat. Sekaliber infrastruktur modern sekalipun atau secanggih apapun sistem informasi akan berakhir pada kehampaan dalam memahami sebuah informasi apalagi memutuskan kebijakan bisnis. Permasalahan data ini adalah permasalahan yang pelik dikarenakan dua hal. Pengguna data malas mengisi data secara lengkap, dan pengguna data mengharapkan data yang lengkap berdasar apa yang diisikan sebelumnya. Sebuah fenomena ‘ayam dan telur’ yang tak berkesudahan. Untuk mencapainya kita memperkenalkan konsep data driven culture, sebuah kultur yang dikendalikan berdasarkan data.
Data driven culture dapat dilakukan dengan tiga langkah sederhana yakni menyimpan data secara tersentral tetapi memiliki ketersediaan yang tinggi, melakukan proses penyimpanan data secara berkala, serta mengevaluasi kebutuhan data.
Ketiga langkah tersebut perlu dilakukan dan diatur dengan baik. Setidaknya institusi harus memiliki peraturan dalam menentukan data apa yang perlu disimpan dan dikelola oleh unit kerja. Dalam hal ini data harus melekat pada proses kinerja sehingga aktivitas yang dilakukan dalam proses kinerja akan menghasilkan data yang bersifat organik tanpa harus menunggu pengumpulan data secara ad-hoc akibat kebutuhan tertentu.
Selain itu, diperlukan lini masa tata kelola data, terutama data-data yang dibutuhkan institusi untuk kebutuhan program studi, departemen, fakultas, atau universitas. Direktorat sebagai pemilik data harus memiliki aturan kapan dan apa data yang perlu ada di waktu tertentu. Semua data dikumpulkan dalam satu tempat dan dapat diambil kapanpun ketika data dibutuhkan
Institusi juga perlu memastikan single of truth data, sebuah konsep yang mengemukakan bahwa data yang disimpan berada dalam satu tempat dan menghindari terjadinya data ganda atau data redundan yang tidak up-to-date. Namun demikian, data dapat diakses oleh kanal apa pun selama kanal tersebut sudah dipercaya. Kanal ini dapat berupa sistem informasi, laman, atau aplikasi mobile
Data yang lengkap, faktual, dan mudah ditelusuri tentu akan terakumulasi seiring dengan manfaat data yang makin berkembang untuk menemukan informasi, membantu pengambilan keputusan, hingga menjadi sumber data untuk pembelajaran mesin. Data yang besar, berkualitas, dan tersimpan secara aman adalah muara dari data driven culture.
Menuju Kedaulatan dan Interoperabilitas Data
Sebelum berbicara tentang AI atau MetaVerse maka agenda pertama adalah menjamin bahwa data yang disimpan berdaulat dan mendukung interoperabilitas data. Data yang berdaulat artinya data yang berintegritas dan dapat dipercaya oleh siapa pun, bahkan dengan klaim data yang lain. Data yang berdaulat hanya dapat hadir jika organisasi sudah memiliki kebijakan pengelolaan data yang dilaksanakan secara berkelanjutan.
Jika data sudah berdaulat maka data mulai dapat diakses melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah melalui sistem yang siap pakai seperti dasbor, aplikasi mobile, atau sistem pelaporan. Pendekatan kedua adalah menggunakan standar berbagi data seperti sintak JSON (JavaScript Object Notation) atau XML (eXtensible Markup Language). Pendekatan pertama dapat disiapkan oleh institusi bagi pemangku kepentingan yang hendak memutuskan kebijakan atau memonitor proses berbasis data. Pendekatan kedua dapat disiapkan oleh unit kerja atau mitra di luar unit kerja yang akan mengakses data dengan izin dan akses data tertentu.
Interoperabilitas data akan menjadi dasar bagaimana akses data dapat secara aman diatur. Dengan standar yang disepakati dan aturan keamanan yang harus dipatuhi, maka tingkat privasi terhadap kepentingan data juga dapat diklasifikasikan dengan baik.
Setidaknya terdapat lima hal yang harus disiapkan sebelum interoperabilitas data dapat dilakukan, salah satunya menyusun arsitektur data yang dimiliki oleh unit kerja. Arsitektur data yang dimaksud adalah semua data yang dimiliki oleh unit kerja yang memiliki nilai jika ditransaksikan, ditampilkan, atau diagregasi sebagai dasar pengambilan keputusan atau pelaporan kinerja.
Setelah mencapai interoperabilitas baru kita dapat menggunakan data-data tersebut untuk kebutuhan AI dan metaverse seperti mengembangkan self assessment report akreditasi, laporan rektor, dan laporan dekan secara otomatis; membuat tur virtual Universitas Gadjah Mada, hingga menghadirkan layanan satu pintu untuk semua pertanyaan mahasiswa dan dosen.
Jadi mari mulai mengisi data dengan baik dan benar, secara rutin, dengan tetap menghargai privasi dan nilai data itu sendiri. Kelak data-data tersebut akan tumbuh secara organik dan dapat membantu kita untuk dapat memutuskan masa datang berdasarkan pada pengalaman masa lalu. Dan pada saat itulah kita meletakkan batu-batu ‘legacy‘ yang dapat dilanjutkan oleh penerus sivitas UGM untuk memutuskan secara lebih baik.