Fenomena ledakan tabung gas elpiji cenderung terus meningkat di masyarakat kita. Seiring dengan itu, media massa pun semakin gencar memunculkan berita banyaknya kasus ini, seakan-akan tiada hari tanpa ledakan gas elpiji. Menurut Drs. Suharman, M.Si., di samping bersumber pada kondisi sosial kultural masyarakat yang belum siap, banyaknya kasus ledakan tabung gas bermuara pada kebijakan dan dasar pemikiran pengambilan kebijakan.
Andai saja kebijakan konversi minyak tanah tidak berganti ke gas, tetapi ke batu bara, masyarakat diperkirakan tidak akan mengalami ‘cultural jump’ sebab mereka telah lama akrab dengan kompor batu bara. “Karena kompor ini pun bisa dipergunakan untuk membakar arang kayu, arang bathok kelapa, dan arang lainnya,” ujarnya dalam seminar bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan, Kamis sore (10/6). Seminar kali ini bertema “Gas Njeblug: Antara Cultural Jump dengan Moral Hazard”.
Dikatakan Suharman, masyarakat sungguh mengalami keterkejutan. Pada saat beberapa perguruan tinggi sedang melakukan penelitian intensif tentang pemakaian batubara dan pelaku bisnis menyiapkan segala sesuatunya, sontak muncul kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji. Masyarakat dan banyak kalangan mengalami kebingungan untuk merespon situasi yang tidak diperkirakan sebelumnya. Bahkan, banyak pihak menunjukkan resistensinya terhadap kebijakan konversi ini. “Namun, pemerintah nampaknya tetap pada pendiriannya, kebijakan konversi harus tetap jalan,” kata dosen Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM.
Dalam implementasinya, kebijakan ini memunculkan banyak masalah sosial kultural. Masyarakat sesungguhnya telah terbiasa dengan minyak tanah karena sebagai bahan bakar, minyak mudah dikelola dan didistribusikan. Selain itu, sistem penjualan minyak juga dapat dilakukan secara eceran. “Masyarakat miskin kota pun bisa membeli 0,5 liter jika hanya memiliki uang 4.000 atau 5.000 rupiah,” katanya. Dengan kebijakan elpiji, kondisi tersebut tidak mungkin dilakukan lagi. Elpiji tabung dijual minimal berukuran 3 kg dengan harga Rp 15.000. “Mustahil masyarakat membeli elpiji 0,5 kg dan membawanya pulang dengan plastik atau kaleng bekas susu,” tambah Suharman.
Meski sama-sama sebagai bahan yang mudah terbakar (imfamable), dalam pandangan Suharman, minyak tanah jauh lebih aman dibandingkan dengan gas elpiji. Sebagai benda cair, minyak tanah jauh lebih dapat dikenali melalui wujud, rembesan, tetesan, dan bau. Sementara gas elpiji, ia hanya dikenali melalui bau saja. “Atas dasar perbedaan kimiawi dan fisikawi ini, maka efektivitas dan keamanan kebijakan penggunaan elpiji bagi masyarakat miskin menjadi persoalan tersendiri. Masyarakat benar-benar belum siap dan teknologi ini memang patut dipersoalkan,” jelasnya.
Bagi Suharman, dengan berbagai kasus ledakan gas, pemerintah memang dapat berdalih bahwa kecelakaan bersumber pada persoalan sosialisasi. Namun, lebih dari itu patut dipertanyaan peran pemerintah sebagai provider yang menjamin semua produk aman. “Pemerintah mestinya menjamin quality control atas produk teknologi ini agar bisa diandalkan,” ujarnya.
Yang cukup memprihatinkan, kini sebagian masyarakat terlanjur bergantung pada elpiji. Mereka yang telah beralih ke gas tidak memungkinkan lagi menggunakan bahan bakar lain. Dahulu, jika minyak tanah tidak ada, masih dapat menggunakan kayu bakar atau arang. “Kini, tidak ada gas, tamatlah. Masyarakat pun menjadi tidak berdaya dalam penentuan harga. Pertamina selaku produsen sangat berkuasa, mau menaikkan 10% hingga 100%, masyarakat tidak akan bisa melakukan apa-apa. Situasi powerless seperti inilah yang sangat sering dialami masyarakat kecil dalam banyak hal,” pungkas Wakil Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM ini. (Humas UGM/ Agung)